Editorial JAKARTASATU: Korupsi Mengalir Sampai Jauh… — Kapan Berakhir di Pengadilan, Bukan dibalik Politik Selesai?
“Korupsi mengalir sampai jauh, kenapa kini banyak berakhir tak jelas dan hilang.”
Ungkapan ini memang terdengar satir, tetapi justru sangat menggambarkan realitas yang kita saksikan dan hadapi hari ini. Setiap pekan, publik Indonesia disuguhi parade koruptor baru—bukan hasil fiksi sinetron, melainkan kenyataan pahit dari proyek fiktif, penyalahgunaan jabatan, dan pembobolan uang rakyat. Kasus bnayak sekali mau proyek tol fiktif yang merugikan negara hingga Rp66 miliar hanyalah satu dari sekian banyak deretan kejahatan yang dilakukan di balik meja kekuasaan.
Pertanyaan mendasarnya ada apa ini apa BUMN atau mafia? Bagaimana mungkin institusi yang seharusnya menjadi penggerak ekonomi rakyat justru menjadi ladang bancakan uang negara? Dalam satu dekade terakhir, korupsi di Indonesia telah menjadi sistematis. Ia bukan lagi hanya soal oknum, tetapi soal struktur dan budaya diam.
Ada pengeledahan apartement kasus Kemendiknas, atai kasus heboh lainnya Pertamina. Judol ada juga dana CSR yang diembat yang mencuat tapi adem ayem terus.
Kenapa doyang banget maling bersama. Uang yang semestinya untuk sekolah, rumah sakit, dan jalan desa justru berakhir di koper merah dan brankas pribadi. Sementara itu, penegakan hukum berjalan pelan bak keong—atau tersendat oleh permainan politik di belakang layar?
Namun dunia tak diam. Sejumlah negara pernah atau sedang menghadapi persoalan yang sama, dan bertindak tegas. Kita harus bisa belajar dari mereka:
Park Geun-hye, Presiden Korea Selatan, dimakzulkan dan dijebloskan ke penjara karena kolusi dengan sahabatnya. Jacob Zuma, Presiden Afrika Selatan, dipaksa mundur oleh partainya sendiri karena terlibat dalam skandal korupsi berjamaah dengan pengusaha elit. Ada Ferdinand Marcos Sr., diktator Filipina, digulingkan oleh rakyatnya sendiri setelah menjarah kekayaan negara hingga miliaran dolar. Alberto Fujimori di Peru, dan Nawaz Sharif di Pakistan—semua pernah merasakan jatuhnya tahta akibat kerakusan.
Apa yang membedakan mereka dari kita?
Keberanian rakyat, independensi lembaga hukum, dan media yang bersuara lantang. Di Indonesia, suara-suara itu belum sepenuhnya diberi ruang. Bahkan sering dibungkam atau dialihkan dengan drama politik yang menyesatkan. Korupsi bukan semata kejahatan administratif.
Padahal adalah pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Sudah waktunya kita bergerak, tidak hanya dengan protes sesaat, tapi dengan konsistensi menolak kompromi atas nama kepentingan. Ini bukan sekadar kritik. Ini adalah seruan: Hukum tak boleh tumpul ke atas. Dan bila hukum tak lagi sanggup membersihkan ruang kekuasaan, maka sejarah rakyatlah yang akan melakukannya.
Semoga Korupsi Mengalir Jauh…tapi tak Berakhir dibalik Politik yang makin semakin begini ini?
(ed/jaksat)