Foto: dok. google

JAKARTASATU.COM– Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengeluarkan pernyataan sikap keras mengecam keberadaan grup-grup di ruang digital, termasuk grup Facebook “Fantasi Sedarah,” yang menyebarkan dan menormalisasi praktik inses serta kekerasan seksual dalam keluarga. Komnas Perempuan menegaskan bahwa grup semacam ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menjadi “ladang bagi predator kekerasan seksual” untuk mencari keuntungan finansial dan memperluas jaringan yang membahayakan anak dan perempuan.

“Komnas Perempuan sungguh mengkhawatirkan situasi bagi para korban yang belum terjangkau dan telah mengalami kekerasan seksual dari para predator tersebut,” demikian bunyi pernyataan Komnas Perempuan, Kamis.

Inses diidentifikasi sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual yang paling berbahaya karena terjadi dalam relasi terdekat dengan korban. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) telah memperberat hukuman bagi pelaku kekerasan seksual dalam lingkup keluarga dengan tambahan sepertiga pidana. Komnas Perempuan menekankan bahwa ketika rumah, yang seharusnya menjadi ruang aman, justru menjadi tempat kekerasan, dampaknya sangat merusak tubuh, rasa aman, kepercayaan, dan kemanusiaan korban.

Komnas Perempuan mengidentifikasi inses mencakup beberapa kategori. Parental incest: Hubungan seksual antara orang tua dan anak.

Sibling incest: Hubungan antara saudara kandung. Family incest: Hubungan seksual yang dilakukan oleh kerabat dekat yang memiliki kekuasaan atas anak dan masih memiliki hubungan sedarah, baik garis keturunan lurus ke bawah, ke atas, maupun ke samping (misal paman, bibi, dll.).

Data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan menunjukkan bahwa inses merupakan bentuk kekerasan seksual tertinggi di ranah personal. Selama lima tahun terakhir (2019–2024), Komnas Perempuan mencatat 1.765 kasus inses. Jumlah tertinggi terjadi pada tahun 2019 dengan 1.071 kasus, disusul 822 kasus pada tahun 2020.

Meskipun terjadi penurunan pada 2021 (15 kasus, diduga karena hambatan pelaporan selama pandemi), jumlah laporan kembali meningkat menjadi 433 kasus pada 2022 dan 213 kasus pada 2023.

Angka ini diyakini Komnas Perempuan hanya sebagai “puncak gunung es” karena banyaknya hambatan khas yang dialami korban inses, seperti kurangnya dukungan keluarga dan ketiadaan ekosistem yang mendorong korban untuk mencari perlindungan.

Untuk memastikan penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual dalam keluarga dan ruang digital, Komnas Perempuan menyatakan:

  • Mengapresiasi langkah cepat Kepolisian dalam menangkap admin dan kontributor grup, serta penutupan grup oleh Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia (Komdigi).
  • Mendesak Aparat Penegak Hukum untuk menggunakan UU TPKS guna memastikan penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban secara berkelanjutan.
  • Merekomendasikan Komdigi untuk membangun sistem pengawasan otomatis yang memblokir konten fantasi seksual dan konten diskriminatif lainnya, serta membuat mekanisme audit/pemantauan berkala terhadap kinerja platform digital.
  • Mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan upaya pencegahan tindak pidana kekerasan seksual secara cepat, terpadu, dan sistematis di masyarakat, mencakup semua keluarga, sesuai dengan Pasal 79 UU TPKS.
  • Mendorong penyedia platform digital global (seperti Meta, X, TikTok) untuk memperkuat sistem deteksi dan penghapusan konten kekerasan seksual, menyediakan mekanisme pelaporan yang ramah korban, dan bekerja sama dengan pemerintah serta Lembaga Nasional HAM.
  • Mengimbau seluruh elemen masyarakat sipil, media, dan platform digital untuk turut menciptakan ruang aman, melakukan pendidikan publik, dan aktif memantau kekerasan seksual, baik di keluarga maupun ruang digital.

(RIS)