Nyala dalam Zaman KKO

By : Yossie Baharudin

FENOMENA “KKO”

KKO Kanan Kiri Ok
Kondisi dibuat ambigu
Kawan dan lawan jadi kabur
Siapa penjaga nilai, siapa penjaga kuasa—tak lagi mudah dibedakan
Narasi besar dimatikan, diganti narasi personal
Gerakan dibonsai, dibuat jadi sekadar urusan perut, bukan perjuangan kelas, bukan soal keadilan struktural.

Kontrol informasi makin rapi
Platform digital dipantau, buzzer merajalela, dan algoritma dijadikan alat pembentukan realitas.

“Langkah Para KKO”

Mereka berjalan tegap,
di antara puing idealisme dan karpet merah.
Katanya merdeka,
padahal cuma pindah tuan,
dari buku ke rekening,
dari mimbar ke lobi kekuasaan.

Dulu mereka berseru:
“Rakyat harus diselamatkan!”
Kini mereka berbisik:
“Mana proyek yang bisa diamankan?”

Pena mereka kini menulis kuitansi,
lidah mereka lebih fasih berkata “setuju”
ketimbang “melawan”.
Baju mereka bersih,
tapi napasnya bau konspirasi murah

Dan kami yang sedikit orang?
Masih di sini,
memegang bara yang sudah tak ramai,
tapi tetap menyala

Standar Ganda

Di lapangan, dia kibarkan poster:
“Rezim penindas harus dilawan!”
Di grup WhatsApp, dia japri:
“Bro, bisa bantu lobi kementerian buat temen kita?”

Saat mikrofon menyala, dia bicara soal kejujuran
Saat laptop menyala, dia kirim invoice konsultan komunikasi ke lembaga yang sama dia kritik

Di siang hari, dia puasa simbolik demi rakyat kecil.
Di malam hari, dia berbuka bareng pejabat besar—menu lengkap, sambil bahas “paket pendampingan narasi publik.”

Dan kalau ada yang protes:
“Bukannya kamu dulu keras menolak ini?”
Dia balas dengan emot senyum dan caption:
“Situasi sudah berubah. Kita juga harus adaptif.”

Lelakon Laporan Berbayar

Di jalan dia teriak:
“Lawannya para koruptor!”
Tapi malamnya ngirim pesan:
“Mau data? Kirim dulu transfer-nya, bos.”

Tiap kejadian, ada tarifnya.
Tiap bocoran, ada hitungannya.
Laporannya rapi.
Tapi bukan ke publik,
melainkan ke rekening pribadi.

Cepu zaman now bukan sembarang nguping,
mereka punya spreadsheet, jaringan, dan rate harga mingguan.

Dan tiap pertanyaan:
“Kamu masih di jalur perjuangan?”
Dijawab ringan:
“Tenang aja, yang penting informasinya valid.”

Balada Aktivis Lepas Kendali

Dulu teriak:
“Turunkan tirani!”
Sekarang:
“Tolong saya dicantumkan di SK yang ini.”

Dulu khatam Marx dan Fanon,
Sekarang khusyuk baca angka lelang dan diskon.

Mereka yang dulu di depan barikade,
Kini sibuk jadi jubir lembaga negara yang tak pernah bisa jujur.

Wajahnya tetap serius,
tapi dompetnya… jauh lebih rileks.

Mereka bilang:
“Ini perjuangan dari dalam.”
Padahal dari dalam itu,
mereka cuma cari colokan listrik dan Wi-Fi stabil.

Di Antara Sprindik dan Langit

Jika sandarannya kepada magic,
sudah pasti tak ada hati —
yang ada hanyalah hasad.
Hasad berorientasi melumat
kemanusiaan manusia.

Semua hasrat terwujud
bukan karena wibawa,
tetapi karena uang
dan surat kesaktian: sprindik.
Itu yang membuat para loyalis sujud tak bertepi,
padahal mereka hanya calon korban dari jeratnya.

Dilapangkannya jalan korupsi, manipulasi.
Para dayang seakan diberi ruang untuk menang,
padahal sesungguhnya akan diparang.

Tanpa sadar,
secara bertahap
hisab sedang mulai menghisap.
Itu cara-Nya,
Sang Maha Pemilik Keadilan.

Kaum tertindas wajib bersabar
— dengan cara-Nya.
Cara makhluq jauh tafsirnya
dari cara Khaliq.

Jangan pernah goyah berikhtiar.
Ikhtiar harus dengan lurus,
bukan dengan KKO.
KKO itu munafiq.

Munafiq itu tidak gratis.
Ada “harga” yang harus dibayar:
bisa dicicil,
atau dibayar kontan.
Sunatullah berjalan.

Banyak ahli hukum kini dihukum,
banyak professor kesohor
bak rusaknya kompresor.
Banyak ahli agama
tapi berjarak dari makna.
Banyak ahli kesehatan,
tapi seperti kesetanan.
Mengapa demikian?
Karena ubuddunya.

Realitas tidak berjalan secara ideal,
karena tempatnya memang bukan di sini.
Tetapi selama hayat dikandung badan,
manusia wajib memanusiakan dirinya.

Cenderung pada Omnipresent,
meskipun tak maksimal —
setidaknya,
bisa capai optimal.
Karena sandarannya
Omnipresent.

(Kumpulan Puisi)

,