DEMOKRASI KITA: UTUH YANG RETAK, MANDIRI YANG DIPINJAM, KAYA YANG TAK TERASA
CATATAN dari Cilandak Aendra Medita*)
Indonesia hari ini menghadapi paradoks demokrasi. Apa benar?
Dalam sebuah pertemuan malam tadi banyak yang bicara dan semua sepekat kita sedang bertanya-tanya? Apa itu sebuah pilihan dalam sebuah kota bernama Pemilu. Di satu sisi tampak utuh dalam ritual elektoral, namun di sisi lain rapuh dalam substansi keadilan dan kedaulatan rakyat. Kita menyebut diri sebagai negara demokrasi “terbesar” ketiga di dunia, namun sebagian besar rakyat hanya menjadi penonton dari panggung kekuasaan yang semakin elitis. Rakyat hanya jadi permainan untuk urusan elektoral.
Apakah demokrasi kita sungguh menjadikan bangsa ini utuh sebagai bangsa, mandiri sebagai negara, dan kaya sebagai masyarakat yang berdaulat?
Demokrasi yang Menyisakan Ruang Kosong
Dalam kacamata komunikasi politik, demokrasi seharusnya membangun dialog antara kekuasaan dan rakyat. Namun, yang kita lihat hari ini justru sebaliknya. Demokrasi digunakan sebagai instrumen legitimasi kekuasaan, bukan alat distribusi keadilan.
Chantal Mouffe, ilmuwan komunikasi politik dari Belgia, ia seorang ahli teori politik asal Belgia, yang sebelumnya mengajar di Universitas Westminster. Mouffe paling dikenal karena kontribusinya terhadap terciptanya mazhab Essex dari analisis diskursus dan pernah menulis bagus bahwa “Demokrasi bukan hanya tentang konsensus, tapi tentang membuka ruang konflik yang konstruktif untuk rakyat.”
Nah di Indonesia, ruang konflik itu justru disumbat dengan narasi-narasi dominan yang menghapus kritik dan membungkam oposisi. Demokrasi prosedural kita kehilangan ruh substansialnya. Rakyat dipanggil saat pemilu, lalu dilupakan setelahnya. Kenyataan itu begitu nyata saat ini.
Kemandirian yang Dikooptasi
Kemandirian seharusnya dibangun lewat keberanian membuat keputusan nasional berdasarkan kehendak rakyat, bukan tekanan pasar global atau kepentingan oligarki. Namun, elite politik sering lebih takut kepada “rating” dan “investor” dibandingkan suara buruh, petani atau nelayan.
Kita ingat Bung Karno dalam pidato Tahun Berdikari 1965 mengatakan:“Berdikari berarti kita berdiri di atas kaki sendiri! Bukan menjadi jongos bangsa asing!”
Tapi hari ini? Kebijakan strategis bangsa masih banyak dipengaruhi oleh kekuatan modal dan tekanan lembaga keuangan dunia. Kemandirian bangsa hanya jadi kutipan di spanduk 17 Agustusan
Kaya yang Tak Terdistribusi
Indonesia kaya sumber daya, tapi kekayaan di dunia tambang, laut dan alam yang indah tapi itu tidak hadir di meja makan rakyat. Laut luas, tambang melimpah, sawit menjulang, tapi anak-anak miskin tetap minum air keruh dan belajar di ruang-ruang reyot.
Amartya Sen, peraih Nobel bidang ekonomi-politik, nama lengkapnya Amartya Kumar Sen adalah seorang ekonom dan filsuf India yang sejak tahun 1972 telah mengajar dan bekerja di Inggris dan Amerika Serikat ia pernah berseloroh tajam: “Kemiskinan bukan sekadar ketiadaan materi, tapi ketiadaan kemampuan untuk memilih dan menyuarakan kehidupan yang bermartabat.”
Nah dalam bingkai komunikasi politik, ini berarti rakyat miskin tidak hanya kekurangan harta, tapi juga hak bicara. Mereka disisihkan dari wacana politik, dijadikan objek kampanye lima tahunan rakyat hanya dinina-bobokan dengan janji .
Komunikasi Politik yang Membebaskan
Sebagai jurnalis dan praktisi komunikasi yang pernah kerja di di perushaan multi nasional saya percaya bahwa yang kita butuhkan bukan hanya demokrasi dalam bentuk, tapi demokrasi dalam makna nyata untuk rakya Indonesia. Demokrasi yang hidup dalam percakapan jujur antara rakyat dan penguasa. Terbuka.
Saya jadi ingin kutip Jurgen Habermas, pemikir komunikasi publik dari Jerman, Ia Habermas juga seorang filsuf dan sosiolog ternama. Ia adalah generasi kedua dari Mazhab Frankfurt. Habermas adalah penerus dari Teori Kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya. Teori Kritis yang dipaparkan oleh para pendahulunya berakhir dengan kepesimisan atau kebuntuan dan ia pecahkan dan menyatakan “Komunikasi publik yang sehat adalah fondasi dari demokrasi deliberatif.”
Tapi sayangnya, komunikasi politik kita kini lebih mirip iklan produk: gimick, slogan, dan pencitraan yang ingin seakan reputasi. Tapi tidak ada reasoning, hanya branding.
Akhirnya catatan ini saya sampaikan bahwa Merdeka Bukan Sekadar Status. Indonesia harus melampaui demokrasi prosedural. Cata kita sendiri kita harus mulai menagih demokrasi yang substansial—demokrasi yang membuat bangsa ini, Utuh secara visi dan arah. Mandiri dalam membuat kebijakan. Kaya dalam rasa keadilan, bukan hanya data ekonomi.
Karena Bangsa besar tak lahir dari propaganda, tapi dari kebesaran nurani dan keberanian rakyatnya untuk terus bertanya, menggugat, dan membangun kemandirian yang tujuannya hakiki.
Saya ini sebut begini: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau bercermin dari luka-lukanya.”
Demikianlah bahwa Indonesia tidak kekurangan potensi. Yang kita kekurangan adalah kejujuran dalam menyampaikan dan mendengar, baik dari elite maupun dari rakyat sendiri.
Komunikasi politik harus menjadi jalan tengah antara kekuasaan dan rakyat, bukan alat mempertahankan dominasi. Akhirnya saya sampaikan Indonesia bisa menjadi utuh, mandiri, dan kaya, bila kita mulai membangun komunikasi politik yang jujur, adil, dan berpihak pada nurani rakyat. Tabik..!!!
*)analis di Pusat Kajian Komunikai Politik Indonesia (PKKPI)
Siapa Yang Bertanggungjawab Dengan Ulah Dan Perilaku Joko Widodo, Selain Luhut Binsar Panjaitan?
By: Tom Pasaribu S.H, M.H.
Masih ingat dengan baju kotak-kotak Joko Widodo? Ketika...
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo Terbukti Masih Waras, Tuduhan Luhut Binsar Panjaitan Soal Yang Masih Membahas Ijazah Palsu Jokowi Sakit Jiwa Terbantahkan
Oleh: Ahmad Khozinudin,...
MPSI Desak Presiden Copot Menteri ATR Nusron Wahid Diduga Main Mata Kasus HGB PIK 2 di Pesisir Tangerang
JAKARTASATU.COM-- Direktur Merah Putih Stratejik Institut (MPSI),...
Hukum Penguasa, Kajian Politik Merah Putih: Hukum Tidak Menjamin Keadilan Hanya Jadi Alat Penindasan
JAKARTASATU.COM-- Koordinator Kajian Merah Putih Sutoyo Abadi melontarkan kritik nilai -...