UN Photo | Mark Garten
UN Photo | Mark Garten
JAKATASATU.COM – Suatu pagi di tenda pengungsian Cabo Delgado, Mozambik, Amina—seorang ibu muda berusia 27 tahun—mencoba menenangkan bayinya yang menangis karena demam. Tenaga medis yang biasanya datang seminggu sekali sudah dua bulan tak lagi tampak. Obat-obatan kosong. Harapan perlahan sirna. Amina tak tahu bahwa tangisan anaknya adalah gema dari krisis yang terjadi jauh di New York, di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Per 9 Mei 2025, organisasi internasional yang dibentuk untuk menjaga perdamaian dan kemanusiaan ini hanya menerima US$1,8 miliar dari total anggaran tahunan US$3,7 miliar. Tambahan tunggakan masa lalu membuat kekurangan dana membengkak menjadi US$2,4 miliar. Konsekuensinya? Jutaan manusia, seperti Amina dan anaknya, berada di ujung tanduk.
Tanggung Jawab yang Terlupakan
Yang paling ironis: krisis ini bukan karena bencana alam, bukan pula karena perang yang tiba-tiba. Ini terjadi karena negara-negara kaya—yang selama ini berdiri di podium moral dunia—menahan dompet mereka.
Amerika Serikat, misalnya, menunggak hingga US$1,5 miliar, menjadi kontributor tunggakan terbesar. Ini adalah warisan dari pemerintahan Trump yang memutuskan untuk memangkas kontribusi sebagai bagian dari strategi penghematan nasional. Negara besar lain juga tak lepas dari daftar tunggakan: Tiongkok (US$597 juta), Rusia (US$72 juta), Arab Saudi (US$42 juta), Meksiko dan Venezuela masing-masing (US$38 juta). Sisanya, negara-negara lain menyumbang tunggakan kolektif sebesar US$137 juta.
Krisis ini menjalar ke semua lini: misi penjaga perdamaian PBB menanggung utang US$2,7 miliar hingga akhir April.
©UNFPA Sudan | Sufian Abdul-Mouty A midwife nurse speaks with a woman at a maternity hospital in Khartoum, Sudan.
©UNFPA Sudan | Sufian Abdul-Mouty A midwife nurse speaks with a woman at a maternity hospital in Khartoum, Sudan.
Perempuan, Pengungsi, dan Anak yang Pertama Tersingkir
Dampaknya nyata dan memilukan. Badan-badan PBB yang mengurusi isu-isu kemanusiaan kini terpaksa memutar otak—dan mengerat anggaran.
UNFPA, yang bekerja dalam isu kesehatan seksual dan reproduksi, melaporkan pemangkasan drastis di wilayah-wilayah rentan seperti Republik Demokratik Kongo, Haiti, Sudan, dan Afghanistan. Klinik tutup, tenaga medis dikurangi, bantuan untuk korban kekerasan seksual dihentikan.
Di Mozambik, hampir 750 ribu pengungsi menghadapi risiko kelaparan, penyakit, dan kekerasan tanpa perlindungan dasar. UNHCR menyatakan bahwa dana yang tersedia hanya mampu menutup sepertiga dari total kebutuhan.
UNAIDS di Tajikistan juga kehilangan 60 persen dari dukungan dana untuk program HIV. Akibatnya, klinik tutup, distribusi PrEP berhenti, bahkan kegiatan sosialisasi yang menyelamatkan jiwa pun dihentikan.
Ironisnya, dunia tak sedang kekurangan uang. Belanja militer global justru meningkat. Tapi bagi anak-anak di Sudan yang 250 ribu di antaranya harus putus sekolah karena dana pendidikan tak tersedia, janji-janji kemanusiaan tinggal cerita kosong.
Kekerasan berbasis gender di Kongo naik 38 persen. Di Haiti, upaya melawan kolera tak bisa lagi dilanjutkan. Dan di Ukraina, di tengah perang yang masih berlangsung, hanya 25 persen dari kebutuhan kemanusiaan yang terpenuhi.
UN80: Upaya Bertahan di Tengah Badai
Melihat realitas ini, Sekjen PBB António Guterres pada Maret lalu meluncurkan program reformasi bernama “UN80”, menyambut usia ke-80 tahun PBB dengan janji efisiensi dan modernisasi. Salah satu strategi paling drastis yang sedang dipertimbangkan: pemangkasan hingga 20 persen tenaga kerja PBB demi memangkas tumpang tindih dan menekan biaya.
Tapi bahkan langkah-langkah internal ini tak akan cukup jika dunia terus memalingkan wajah.
“Ketika Dunia Diam, Siapa yang Akan Bicara?”
Kepala OCHA, Tom Fletcher, tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa organisasi terpaksa mengurangi jumlah staf dan menghentikan program di sejumlah negara akibat “minimnya dukungan dana”. Dengan kata lain: dunia tengah gagal menjaga janji terhadap umat manusia yang paling membutuhkan.
Dunia Masih Punya Nurani?
Di tengah segala konflik, perubahan iklim, dan krisis kemanusiaan, PBB telah menjadi simbol upaya kolektif umat manusia untuk tidak menyerah pada kekacauan. Tapi saat kini ia berteriak minta tolong—bukan untuk dirinya, melainkan bagi miliaran jiwa di garis depan penderitaan—dunia justru menutup telinga.
Amina di Mozambik tak tahu tentang rapat Dewan Keamanan, atau tentang surat tunggakan dari markas PBB. Ia hanya tahu anaknya butuh obat. Ia hanya tahu bahwa malam semakin dingin, dan bantuan tak kunjung datang.
Pertanyaannya kini sederhana namun mendalam, “Akankah dunia menyelamatkan PBB, atau membiarkannya runtuh bersama harapan mereka yang paling lemah?” |WAW-JAKSAT
———————–
Sumber: United Nations News (30 Mei 2025) https://news.un.org/en/story/2025/05/1163901Krisis Dana Ancam Napas Terakhir Program Kemanusiaan PBB