JAKARTASATU.COM – Pada suatu sore di sebuah ruang keluarga yang sunyi, terdengar gumaman ganjil dari seorang anak berusia sepuluh tahun: “Tralalero tralala…” Ayahnya yang sedang bekerja di ruang sebelah, berhenti sejenak. Itu bukan lagu dari televisi, bukan pula jingle iklan. Itu… meme? Atau semacam mantra dari dunia maya yang tak pernah ia pahami sepenuhnya.
Sambutan Hari Anak Internasional tahun ini membawa kejutan dari dunia digital: sebuah laporan tahunan dari Kaspersky membuka tabir tentang minat online anak-anak yang tak terduga namun penting untuk dimengerti — bukan hanya bagi orang tua, tetapi bagi seluruh masyarakat digital yang terus berubah.
Chatbot AI, Sahabat Baru atau Ancaman Tersembunyi?
Tak bisa dipungkiri, anak-anak hari ini bukan hanya penonton pasif dari teknologi. Mereka adalah navigator aktif, menjelajah ruang digital dengan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan. Dari data Kaspersky yang dikumpulkan antara Mei 2024 hingga April 2025, lebih dari 7,5% kueri pencarian anak-anak kini berkisar pada chatbot AI — naik dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
“Character.AI”, platform tempat pengguna dapat berbicara dengan bot berbasis karakter fiksi, meroket popularitasnya. ChatGPT dan Gemini ikut dalam radar pencarian anak-anak. Mereka ingin tahu. Mereka mencoba. Mereka terkoneksi.
Namun, di balik kemudahan itu, tersembunyi risiko. Bot AI bisa menjadi sumber informasi yang mencerdaskan — tapi juga bisa menampilkan konten emosional, salah arah, atau tidak layak. Karena itulah Kaspersky memperingatkan: komunikasi terbuka dan perangkat pengasuhan digital menjadi tak lagi pilihan, tapi kebutuhan.
Sprunki dan Kecepatan Jari Anak Zaman Ini
Tak semua tren bersifat teknologis tinggi. Sebuah gim ritmis sederhana bernama Sprunki berhasil menembus lima besar topik gim paling dicari di YouTube. Dengan desain kartun dan gameplay yang adiktif, anak-anak tak hanya menatap layar — mereka menari dengan jari, mengikuti ketukan cepat yang memadukan musik dan gerakan visual.
Fenomena ini mencerminkan kebutuhan anak akan stimulasi multisensorik: mendengar, melihat, merespons — sebuah irama baru dalam perkembangan motorik dan emosi mereka.
Tralalero Tralala dan Meme “Brainrot”
Jika AI adalah bukti kecanggihan, maka meme adalah pengingat absurditas. Tahun ini, Kaspersky mencatat fenomena pencarian frasa seperti “tralalero tralala” atau “tung tung tung sahur” — representasi dari jenis humor digital yang disebut brainrot: lucu, kacau, tak masuk akal, tapi viral.
Apa yang bagi orang dewasa terdengar tak bermakna, bagi anak-anak adalah sandi, adalah bahasa, adalah budaya mereka. Memahami ini bukan soal membenarkan atau melarang, tapi mengenal dunia anak sebagaimana adanya.
Platform Populer: YouTube Masih Rajanya
Data menunjukkan bahwa 18% kueri anak-anak masih berkaitan dengan menonton video. YouTube tetap jadi aplikasi nomor satu di dunia, termasuk di Indonesia (28,02%). WhatsApp mengejutkan dengan menggeser TikTok ke posisi ketiga secara global dan lokal.
Artinya? Anak-anak tak hanya mencari hiburan visual, tapi juga mengobrol, berbagi, membangun jaringan sosial — meski dalam versi digital yang sepenuhnya mereka miliki.
Realitas Indonesia: Antara Kreativitas dan Kewaspadaan
Di Indonesia, topik yang paling banyak dicari anak-anak berkaitan dengan perangkat lunak, audio, dan video (64,72%). Ini menunjukkan tingginya ketertarikan pada proses kreatif dan konsumsi multimedia. Tapi, sebagaimana paparan Kaspersky, semua ini harus diseimbangkan dengan pemahaman risiko digital — dari ancaman siber hingga penyalahgunaan data.
Anna Larkina, pakar privasi digital di Kaspersky, mengingatkan: “Ketika orang tua meluangkan waktu untuk memahami apa yang ditonton, dimainkan, atau dicari anak-anak mereka, hal itu membuka pintu untuk percakapan bermakna.”
Mendidik, Bukan Menghakimi
Laporan ini lebih dari sekadar statistik. Ia adalah cermin zaman. Anak-anak hari ini hidup dalam dunia yang lebih cepat, lebih terhubung, dan lebih kompleks dari sebelumnya. Mereka bukan generasi “gadget addict”, melainkan generasi penjelajah — yang memerlukan bimbingan, bukan hukuman.
Orang tua perlu lebih dari sekadar larangan. Mereka membutuhkan alat: dari Kaspersky Safe Kids untuk mengatur waktu layar dan konten, hingga “Cybersecurity Alphabet” yang mengajarkan keamanan siber dengan cara menyenangkan.
Karena pada akhirnya, teknologi adalah alat — bukan musuh. Dan setiap klik yang dilakukan anak, setiap pencarian “tralalero tralala”, adalah panggilan untuk kita ikut masuk ke dunia mereka. Bukan untuk menguasainya, tetapi untuk menemani mereka tumbuh. |WAW-JAKSAT
TNI Wujudkan Aksi Nyata, Dukung Ketahanan Pangan Nasional
JAKARTASATU.COM-- Komitmen TNI dalam memperkuat ketahanan nasional tidak hanya diwujudkan melalui kekuatan militer, tetapi juga melalui aksi...
TURUNKAN DEDI MULYADIby M Rizal FadillahPenurunan secara konstitusional tentu melalui mekanisme DPRD. Rupanya akting Dedi Mulyadi yang selalu ingin disebut "Kang" itu sudah berlebihan...
Diskusi Dampak Konflik Israel-Iran Terhadap Indonesia, Bamsoet Ingatkan Dampak Langsung Terhadap Perekonomian Nasional
JAKARTASATU.COM-- Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo...
Jendela Bali, Semestinya Bukan Jendela Diskriminasi Kaum Pribumi
Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Langit Bali sore itu semestinya membentang seperti biasa, hangat, cerah, dan bersahabat. Tapi...
Di Kasus BBM Disebutkan 9 Tersangka Baru Ditetapkan Kejaksan Agung, Ada Nama Riza Chalid
JAKARTASATU.COM-- Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak...