PERTEMUAN ENERGI
Oleh Yossie Baharudin
Jurnalis
Hidup ini lebih dari sekadar rutinitas dan raga yang bergerak. Lebih dari sekadar status sosial, pencitraan kealiman, atau sibuk menambal amal dengan derma yang dipajang. Di balik semua itu, ada gerak tak kasat mata: energi. Ia hadir dalam bentuk pikiran, rasa, intuisi, dan niat. Ia mengalir, bersilangan, menubruk, atau bahkan saling menjauh—tergantung kualitas ruh yang mengembannya.
Energi bukan hal gaib yang menakutkan. Ia adalah bagian dari fitrah. Termasuk ketika kita menjalin hubungan: dengan benda, dengan hewan, dengan tumbuhan, bahkan dengan sesama manusia.
Pernah merasa sedih ketika sebuah barang hilang padahal nilainya tak seberapa? Itu bukan soal harga, tapi soal ikatan energi. Barang yang akrab dengan kita menyimpan memori dan vibrasi. Saat ia pergi, sepotong kenangan pun ikut raib. Tapi ya, siapa peduli hari ini? Orang lebih terpukau pada NFT dan AI—hal yang katanya canggih, tapi tak lagi hangat disentuh jiwa.
Binatang pun bisa merasakan energi kita. Seekor kucing bisa tahu siapa yang diam-diam kejam meski berbicara lembut. Anjing bisa membedakan manusia penyayang dan manusia yang hanya pandai memerintah. Kalau hewan saja tahu, bagaimana mungkin kita yang merasa “makhluk paling mulia” begitu sering abai? Ah ya, mungkin karena kita sudah terlalu sibuk jadi influencer akhirat—gemar berdakwah tapi malas merawat makhluk hidup di sekitar.
Energi kasih sayang tak bisa dibuat-buat. Ia terpancar atau tidak sama sekali. Bukan lewat stiker “Aamiin” di status WA atau potret menangis saat salat. Bahkan pohon pun tahu siapa yang menyiraminya karena cinta dan siapa yang menyiramnya demi konten.
Begitulah ruh bekerja. Bila ia masih fitri, ia akan mencari arah yang lurus. Ia akan tertarik pada ruh yang juga menjunjung nilai kebenaran. Tapi bila ia sudah rusak—terkontaminasi syahwat, ambisi, dan kepalsuan—maka ia akan terseret pada arus yang sefrekuensi. Maka jangan heran bila di tengah kezaliman, Anda menemukan orang-orang yang rajin beribadah tapi membisu. Mereka bukan bodoh. Mereka hanya sudah nyaman bersama ruh-ruh lain yang sama kecutnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ruh-ruh itu bagaikan pasukan. Jika saling mengenal, mereka akan bersatu. Jika saling asing, mereka akan saling menjauh.”
(HR. Muslim)
Makanya, tak perlu heran kalau para pecinta kebenaran merasa asing di tengah gemuruh pujian terhadap pemimpin culas. Ruh-ruh yang hanif memang jarang ramai. Mereka tenang, tapi tajam. Sementara ruh-ruh yang fasik, walau tampil shalih, justru ramai saling menghibur dalam kebohongan yang disepakati bersama. Tak kuat hadapi kebenaran, mereka cari perlindungan dalam sesama topeng.
Kalau hari ini banyak yang kita lihat adalah aktivisme yang “saleh” di atas panggung, itu karena vibrasi sejati sedang sibuk bergerak di bawah tanah. Para ruh yang hanif tak butuh validasi. Mereka cukup dengan gerak nyata. Membela yang lemah. Menyuarakan yang tertindas. Bukan demi citra. Tapi karena getar ruhnya memang bergerak ke sana.
Ibnu Qayyim pernah berkata, bahwa ruh orang saleh bahkan bisa saling berkunjung setelah kematian. Mereka bebas, tak dibelenggu azab. Mereka saling menyapa, mengenang perjuangan hidup, dan saling mengingatkan apa yang akan dihadapi umat manusia. Sebaliknya, ruh yang kafir dan dzalim tak sempat bersua—mereka sibuk dicekik oleh amal mereka sendiri.
Jadi jangan kaget, jika di dunia ini kita bertemu orang yang rajin puasa tapi kikir. Rajin sedekah tapi tak peduli keadilan. Punya komunitas religi tapi bungkam saat kebohongan merajalela. Ruh mereka tidak rusak, hanya sudah betah berada di dalam polusi. Mereka akan terus menarik yang sejenis: yang sok bijak tapi malas berpihak, yang lembut tutur katanya tapi licik dalam pilihan sikap.
Dan jangan juga iri pada mereka yang tampaknya tenang dalam hidupnya. Bisa jadi ketenangan itu bukan karena keberkahan, tapi karena ketidaktahuan. Ibarat jalan di jurang tapi merasa di taman—karena belum sempat tergelincir. Maka kita perlu waspada: damai itu bukan selalu tanda selamat. Kadang, itu cuma anestesi spiritual.
Maka kenalilah ruh dari kecenderungan. Dari siapa ia dekati. Dari apa yang membuatnya nyaman. Sebab frekuensi tak pernah bohong. Bila seseorang betah di antara kebohongan, boleh jadi ia memang bagian dari itu. Bila seseorang tetap istiqamah di jalan sunyi, besar kemungkinan ruhnya sedang dijaga—oleh ketulusan, oleh perjuangan, dan oleh perintah-Nya.
Karena sesungguhnya, ruh yang baik tidak akan lama sendirian. Ia akan dipertemukan. Bila tidak di dunia, maka di alam barzah dan di akhirat. Sebab ruh tidak hanya hidup hari ini. Ia melintasi zaman, menembus batas, dan selalu bergerak menuju titik temu: dengan yang sefrekuensi.
Rasulullah menyampaikan gambaran ruh manusia seperti yang dipaparkan di atas.
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda :
الأرواحُ جنودٌ مجنَّدةٌ . فما تعارف منها ائتَلَف . وما تناكَر منها اختلف
“Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang dihimpun dalam kesatuan. Jika saling mengenal di antara mereka maka akan bersatu. Dan yang saling merasa asing di antara mereka maka akan berpisah.” (HR. Muslim 6376)
Al-Khoththobi rahimahullah berkata :
على معنى التشاكل في الخير والشر والصلاح والفساد، وأن الخير من الناس يحن إلى شكله والشرير نظير ذلك يميل إلى نظيره، فتعارف الأرواح يقع بحسب الطباع التي جُبلت عليها من خير وشر، فإذا اتفقت تعارفت، وإذا اختلفت تناكرت
“Bisa jadi bermakna isyarat atas kesamaan dalam hal kebaikan dan kejelekan serta perbaikan dan kerusakan. dan bahwasanya manusia yang baik akan rindu kepada jenisnya (yang baik pula), sedangkan yang jelek dan semisal itu maka akan condong kepada yang sejenisnya pula. Para ruh akan saling mengenal, sehingga akan hinggap sesuai dengan tabiat yang telah diciptakan di atasnya dari kebaikannya maupun kejelekannya, maka apabila telah cocok maka akan saling mengenal, dan apabila berbeda maka akan saling mengingkari.” (nukilan Al-Fath, juz 3, Halaman 199).
Jika kita lihat maka akan sering kita dapati :
• Jiwa yang berusaha berjihad dijalan Allah maka akan senang berkumpul dengan jiwa-jiwa yang berjihad dijalan Allah..
• Jiwa yang suka berderma dan baik hati akan cinta kepada yang semisalnya dan akan merasa condong kepadanya.
• Begitu pula jiwa yang berlebihan memandang dunia dalam kehidupan ini, dia pun akan merasa nyaman, dan condong kepada jiwa yang setipe dengannya..
• Sedangkan jiwa yang tidak baik akan berkawan dengan yang sejenis dan akan condong kepadanya serta akan menjauh dari setiap jiwa yang berlawanan dengannya.
Ulama Qatadah rahimahullah berkata :
“Sesungguhnya kami, demi Allah belum pernah melihat seseorang menjadikan teman buat dirinya kecuali yang memang menyerupai dia maka bertemanlah dengan orang-orang yang shalih dari hamba-hamba Allah agar kamu digolongkan dengan mereka atau menjadi seperti mereka.” (Al Ibanah 2/477 nomor 500).