tangkapan youtube greenpeace/ist

JAKARTASATU.COM — Pemerintah Kabupaten Raja Ampat berharap bahwa dengan meninjau kembali pembatasan kewenangan pengelolaan hutan, pemerintah pusat dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk lebih terlibat dalam pengelolaan hutan dan meningkatkan kesejahteraan mereka.

Hal ini membuat Bupati Raja Ampat Orideko Burdam sedang mengeluh karena kewenangan pemberian dan pemberhentian izin tambang nikel dari pusat (Jakarta), sehingga daerah kesulitan memberikan intervensi terhadap tambang yang diduga merusak dan mencemari hutan dan ekosistem yang ada di wilayahnya.

“Ada 97 persen Raja Ampat adalah daerah konservasi, sehingga ketika terjadi persoalan pencemaran lingkungan oleh aktivitas tambang, kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena kewenangan kami terbatas,” katanya, di Sorong Papua, Sabtu (31/5/2025), dilansir Antara.

Hal ini juga disampaikan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya Julian Kelly Kambu menyampaikan ada dua perusahaan yang mengelola tambang nikel di Raja Ampat, yakni PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining.

Kedua perusahaan ini bergerak di tambang nikel yang telah mengantongi izin berusaha sejak daerah ini masih menjadi satu dengan Provinsi Papua Barat. Selain dua tambang nikel yang berizin, menurutnya, ada beberapa perusahaan yang beroperasi di Raja Ampat telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) sebelum Papua Barat Daya itu ada.

Kini bahkan dikabarkan bahwa Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengaku akan memanggil pemegang izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, untuk melakukan evaluasi aktivitas pertambangan.

“Saya akan evaluasi, akan ada rapat dengan dirjen saya. Saya akan panggil pemiliknya, mau BUMN atau swasta,” ucap Bahlil saat menghadiri Human Capital Summit di Jakarta, Selasa.

Bahlil melihat ada kearifan-kearifan lokal yang belum disentuh dengan baik dalam pelaksanaan aktivitas pertambangan. Di sisi lain, Bahlil mengungkapkan terdapat aspirasi masyarakat Papua yang menginginkan pembangunan smelter di sana. Menurut Bahlil, kompleksitas pertambangan di Papua membutuhkan perlakuan khusus karena merupakan daerah otonomi.

“Kami harus menghargai, karena Papua itu kan ada otonomi khusus, jadi perlakuannya juga khusus. Nanti saya pulang akan evaluasi,” ungkap  Menteri asal Tanah Cenderawasih itu.

Yang Diincar Tambang Nikel di Raja Ampat jadi Ironi besar karena di era sebelumnya Nikel ini. Raja Ampat nama ini tidak hanya menggambarkan gugusan pulau di Papua Barat, tapi menyimpan makna mendalam bagi dunia.

Ia adalah simbol keindahan ekologis, rumah bagi ribuan spesies laut, dan tempat yang pernah dijuluki “The Last Paradise on Earth” oleh fotografer dunia seperti Mattias Klum asal Swedia. Namun kini, kabar itu menyedihkan datang: terancam berubah menjadi luka tambang nikel.

Indonesia, di bawah pemerintahan Presiden ke 7 sebelumnya, sedang berada dalam euforia “hilirisasi nikel.” Strategi ekonomi ini diposisikan sebagai lompatan besar menuju kemandirian industri, terutama baterai kendaraan listrik (EV) yang disebut-sebut sebagai masa depan dunia.

Tapi sayangnya, langkah besar ini dibayar mahal oleh lingkungan hidup, tanah adat, dan ekosistem tak tergantikan—seperti Raja Ampat. Bukan Lahan Kosong, Tapi Tanah Warisan Leluhur Papua, termasuk Raja Ampat, kerap diperlakukan seolah-olah tanah kosong—terbuka bagi siapa saja yang datang membawa izin tambang dan alat berat.

Padahal tanah ini bukan tanpa isi, bukan tanpa nyawa. Ia dihuni oleh masyarakat adat yang hidup sejalan dengan alam selama ratusan tahun. Ketika wilayah-wilayah Papua dibuka untuk pertambangan dengan dalih investasi dan pembangunan, pemerintah sering lupa bahwa pembangunan tanpa partisipasi warga lokal bukanlah kemajuan—melainkan perampasan. Izin tambang yang dikeluarkan untuk perusahaan di sekitar Raja Ampat kini menjadi ancaman serius.

Hutan dibabat, bukit-bukit dikeruk, dan laut tercemar lumpur serta limbah nikel. Apakah ini harga yang layak demi mobil listrik? Ironi Hijau: Energi Bersih, Tapi Cara Kotor Nikel disebut sebagai bahan baku utama baterai kendaraan listrik—ikon energi hijau. Namun bagaimana bisa kita menyebutnya “bersih” jika dalam prosesnya, alam dihancurkan, masyarakat digusur, dan lingkungan rusak permanen?

Tambang nikel bukan hanya menciptakan lubang di bumi, tapi juga lubang dalam kehidupan sosial: konflik lahan, kerusakan ekosistem, hilangnya sumber mata pencaharian masyarakat lokal, dan pencemaran air serta udara. Di banyak wilayah lain seperti Morowali, Halmahera, bahkan Sulawesi Tenggara, dampak negatif tambang nikel sudah dirasakan.

Kini Raja Ampat—salah satu ikon pariwisata dunia dan kawasan konservasi laut terbesar di Indonesia—sedang menunggu nasib serupa. Kita sedang mengulang kesalahan yang sama, hanya dengan kemasan berbeda.

Dari Presiden Rakyat ke Presiden Nikel?

Muncul pertanyaan sarkastik tapi nyata dari masyarakat: Akankah ada yang dikenang sebagai “Presiden Nikel”? Karena selama masa kepemimpinan, ekspansi tambang nikel besar-besaran terjadi. Sebagian besar hasilnya justru mengalir ke perusahaan-perusahaan asing, terutama dari Tiongkok.

Dalam narasi resmi, pemerintah menyebut ini sebagai “kemandirian nasional,” tapi kenyataannya menunjukkan dominasi modal asing dan ketergantungan pada ekspor bahan mentah maupun setengah jadi.

Jika kepemimpinan saat ini membiarkan Raja Ampat hancur oleh tambang, maka warisan sejarah yang ia tinggalkan bukanlah keberlanjutan, melainkan jejak kehancuran ekologis.

Raja Ampat Harus Diselamatkan, Sekarang Raja Ampat harus dijaga, bukan dijual. Dunia tidak akan diam melihat kehancuran salah satu tempat terkaya keanekaragaman hayati lautnya. Kita punya tanggung jawab moral dan sejarah untuk menyelamatkan surga ini.

Kritik Greenpeace

Sementara, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, dalam pernyataan resminya mengatakan bahwa penambangan nikel di Papua bakal mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati dan ekowisata masyarakat setempat terutama di Raja Ampat.

Kritik tersebut disuarakan dalam bentuk aksi damai yang digelar bertepatan dengan pelaksanaan Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, Selasa (3/6/2025).

Padahal Kawasan Raja Ampat memiliki kekayaan alam sebesar 75 persen untuk spesies terumbu karang di dunia, 1.400 jenis ikan-ikan karang dan 700 invertebrata jenis moluska. Beberapa jenis ikan yang ada di Raja Ampat salah satunya adalah pari manta (Mobula birostris).

Tidak hanya biota laut tapi juga satwa-satwa khas bumi Papua di Raja Ampat yang turut terancam akibat hilirisasi nikel.

Menurut pemantauan Greenpeace pada 2024, aktivitas tambang telah terjadi di sejumlah pulau kecil di Raja Ampat, seperti Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pulau-pulau tersebut seharusnya masuk dalam kategori kawasan konservasi yang tidak boleh dijadikan lokasi tambang.

Analisis Greenpeace menemukan bahwa lebih dari 500 hektare hutan alami telah hilang akibat ekspansi tambang nikel di kawasan tersebut.

Pembukaan lahan dan pengerukan tanah turut menyebabkan limpasan sedimen ke perairan pesisir, berpotensi merusak terumbu karang dan ekosistem laut Raja Ampat.

Greenpeace juga menyoroti ancaman serupa di Pulau Batang Pele dan Manyaifun, dua pulau kecil yang hanya berjarak sekitar 30 kilometer dari ikon wisata Raja Ampat, Piaynemo. Kawasan ini memiliki nilai penting secara ekologis maupun budaya bagi masyarakat adat.

Masyarakat sipil, jurnalis, aktivis lingkungan, tokoh adat, dan pemuda Papua kini mulai bersuara: “#SaveRajaAmpat. Papua bukan lahan kosong. Kami tidak butuh tambang, kami butuh laut yang hidup.”

Pemerintah harus mendengar. Lebih baik kehilangan peluang jangka pendek daripada kehilangan kekayaan ekologis yang tidak bisa diganti. Investasi yang merusak tak akan pernah lebih baik daripada konservasi yang memberi hidup berkelanjutan.

Apa yang Akan Kita Wariskan?

Sejarah tidak hanya menilai dari angka pertumbuhan ekonomi. Ia mencatat siapa yang membiarkan keindahan berubah menjadi kehancuran. Kita boleh membangun, tapi jangan dengan menghancurkan rumah anak cucu kita sendiri. Raja Ampat bukan milik investor. Bukan milik elit di Jakarta. Ia milik bumi, milik generasi mendatang, dan milik dunia. Mari bersuara bersama, sebelum “Last Paradise” tinggal nama di buku sejarah. Hari ini tanggal 5 Juni 2025  Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Lalu apa Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) telah menggaungkan seruan global sesuai tema Hari Lingkungan Hidup (HLH) tahun ini yakni Hentikan Polusi Plastik. Dan ini ditanah yang indah akan dikeruk terus dengan nikel. #SaveRajaAmpat #PapuaBukanLahanKosong. Tabik. (ewindo/ae)