x.com@akudoya
x.com@akudoya

Kaget Ada Tambang Nikel di Raja Ampat

Cerpen: Wahyu Ari Wicaksono

 

Pagi itu, langit Raja Ampat masih biru, tapi bukan biru yang tenang. Melainkan biru yang bingung -—seperti seorang bocah yang baru saja dituduh mencuri pensil, padahal baru belajar menulis huruf A. Burung-burung cendrawasih terbang lebih rendah dari biasa, seolah mencari tempat persembunyian dari bunyi mesin yang menggigiti perut bumi.

Di bawah pohon ketapang yang renta, duduklah enam lelaki tua kampung. Mereka tak punya jabatan, tapi punya hikmat. Tak ada papan nama di dada mereka, hanya keriput yang menulis sejarah.

“Beta mimpi aneh tadi malam,” kata Opa Marthen sambil menyesap kopi arang. “Raja Ampat pindah rumah ke bulan. Katanya di sini sudah tak sanggup napas.”

“Tuhan barangkali juga sudah cabut label surga dari tanah ini,” gumam Yakobus, mantan guru SD yang kini lebih sering berbicara dengan laut ketimbang manusia.

Tiba-tiba datang si Bertha, gadis SMA yang ikut demo minggu lalu. Di tangannya ada gawai pintar, di wajahnya ada murka yang tak sempat dirapikan.

“OPA! MENTERI-MENTERI KAGET KATANYA!” teriaknya.

“Siapa yang kaget? Menteri yang mana? Makan papeda terlalu pedas kah?” tanya Opa Simon sambil menggaruk betis.

“Semua Opa! Menteri Lingkungan kaget, Menteri Tambang kaget, Menteri Pariwisata setengah kaget, Wakil Menteri Luar Negeri ikut kaget padahal luar negeri belum tanya! Bahkan DPR pun kaget -—tapi entah karena tambang atau karena rakyat masih hidup.”

Mereka semua terdiam. Lalu tertawa.

“Luar biasa itu, apa tambang nikel bisa tumbuh semalam macam cendawan?” kata Opa Marthen. “Beta pikir cuma Yesus yang bisa ubah air jadi anggur, ternyata ada juga yang bisa ubah surga di Papua jadi tambang dalam semalam!”

“Tapi Opa… ini bukan guyon. Alat-alat berat nyata sudah ada dan beroperasi mengeruk nikel di sana. Tanah sudah robek. Air laut mulai keruh. Tapi mereka semua bilang kaget dan seolah-olah ini seperti baru terjadi kemarin malam. Katanya akan evaluasi, katanya akan bentuk tim, katanya akan lakukan pendekatan humanis…”

Yakobus mendongak. “Humanis?” ulangnya lirih. “Mereka salah eja. Maksudnya bukan humanis, tapi humas. Semua cuma untuk berita pencitraan.”

Bertha menatap kakek-kakeknya satu per satu. “Lalu kita mesti apa, Opa? Kita bukan siapa-siapa…”

Simon mengelus rambutnya. “Justru karena kita bukan siapa-siapa, kita bisa berkata apa adanya. Yang punya nama biasanya takut kehilangan muka. Sedang kita, cuma takut kehilangan tanah.”

Sementara itu di Ibukota, ruangan rapat diwarnai parfum kebingungan. Namun tak jelas, entah benar-benar bingung atau sekedar drama agar lepas dari tanggung jawab.

“Siapa kasih izin tambang di Raja Ampat?” tanya Menteri Lingkungan.

“Saya tidak,” jawab Menteri Tambang sambil memainkan pulpen berbentuk bor.

“Saya juga tidak tahu,” sahut Wakil Menteri Pariwisata yang baru pulang dari studi banding di Maladewa.

“Kalau begitu, berarti tambangnya dating dan muncul sendiri dong?” ujar DPR yang duduk di pojok, matanya sayu, pikirannya penuh jadwal siaran.

“Tapi sudah kita bentuk tim investigasi kan?” kata seorang Utusan Khusus yang tiba-tiba muncul seperti aktor pengganti.

Ruangan itu mendadak seperti panggung drama sekolah dasar. Semua aktor bingung siapa yang menulis naskah.

Sampai tiba-tba, sebuah suara dari langit -—bukan dari Tuhan, tapi dari speaker —-lantang mengumumkan, “Sidang diskors. Akan dijadwal ulang setelah heboh kasus ini selesai.”

Di ujung senja, Opa Marthen melihat laut. “Kalian tahu? Surga itu bukan tempat yang kita tuju setelah mati. Surga itulah yang justru sedang kita bunuh perlahan sebelum hidup kita selesai.”

Bertha menahan air mata. “Jadi kita kalah, Pa?”

“Tidak. Kita hanya sedang disuruh bangun.”

“Bangun untuk apa?”

“Untuk menggugat langit. Kalau surga bisa dipecat dari tanah di bumi Papua ini, maka kita rakyat berhak memanggilnya kembali. Tapi bukan dengan senjata, tapi dengan kebenaran yang tak bisa ditambang.”

Konon saat ini, alat berat yang ada sudah lebih banyak dari anak sekolah di kampung. Konon, tanah suci sudah dinilai dari kadar mineral, bukan dari jumlah doa yang lahir di atasnya.

Dan konon, para pejabat masih saling kaget, padahal rakyat sudah letih terperangah sejak dulu.

[]