Globalisasi dan Kebudayaan: Pertaruhan Kedaulatan Budaya Indonesia
CATATAN dari CILANDAK Aendra MEDITA*)
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati warisan budayanya sendiri.”
— Ir. Soekarno
Di tengah arus globalisasi yang tak terbendung, bangsa Indonesia menghadapi satu pertaruhan besar: kedaulatan budaya. Di era pasar bebas informasi dan produk budaya, bukan hanya barang dan jasa yang berseliweran melintasi batas negara, tetapi juga nilai, pola pikir, gaya hidup, bahkan struktur identitas masyarakat.
Jika negara gagal menjaga kedaulatan budaya, maka yang terancam bukan hanya tradisi, tetapi juga mental bangsa. Ki Hajar Dewantara telah lama mengingatkan: “Kebudayaan ialah buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat.”
Hari ini, budi masyarakat kita semakin dibentuk oleh algoritma global—media sosial, tren pop, dan narasi-narasi luar yang masuk tanpa filter kritis. Lihatlah bagaimana bahasa daerah terpinggirkan, seni tradisi dikomodifikasi, dan nilai lokal digantikan oleh budaya instan. Harus viral dan ingin selalu trendings topic.
Semua ini adalah dampak dari absennya strategi kebudayaan yang kuat dari negara. Buatkanlah strategi kebudayaan yang jitu baik dan elegan, bukannya sudah ada menteri kebuayaan sendiri saat ini?
Gus Dur pernah dengan jernih berkata: “Kebudayaan itu bukan sesuatu yang beku, ia hidup, berkembang, dan berdialog dengan zaman.”
Namun dialog ini harus berimbang. Saat ini, negara terkesan membiarkan pasar mengatur arah budaya. Komersialisasi pariwisata membuat banyak ritual budaya berubah menjadi sekadar tontonan bagi wisatawan. Kebijakan pendidikan pun gagal menjadikan budaya lokal sebagai fondasi karakter bangsa. Diplomasi budaya Indonesia masih lemah. Kita kalah bersaing dengan negara-negara yang aktif memasarkan soft power mereka melalui film, musik, dan fashion.
Bung Hatta pernah mengingatkan: “Jangan sekali-kali kebudayaan kita hanya jadi barang dagangan. Ia adalah jiwa bangsa.”
Maka negara harus segera mengambil langkah serius: Mengintegrasikan pendidikan budaya secara komprehensif di sekolah. Melindungi hak kekayaan intelektual budaya tradisional. Mengembangkan ekosistem kreatif berbasis budaya lokal. Memperkuat diplomasi budaya di level internasional. Selain itu, kita perlu mendorong literasi digital budaya.
Generasi muda harus dilatih menjadi produsen budaya, bukan sekadar konsumen pasif dari budaya global.
Sutan Takdir Alisjahbana mengingatkan: “Kita tidak boleh berjalan mundur. Kita harus maju ke dunia baru, tetapi sambil membawa serta harta kekayaan rohani kita.”
Jika negara gagal dalam strategi budaya, maka dalam waktu singkat Indonesia hanya akan menjadi pasar budaya global, tanpa jati diri yang kokoh.
Maka Pertarungan budaya di era globalisasi adalah pertarungan kedaulatan bangsa yang sesungguhnya. Negara tidak boleh abai. Seni dan budaya bukan sekadar ornamen pariwisata atau hiburan populer; ia adalah jiwa bangsa, alat diplomasi lunak, dan fondasi karakter nasional.
Tanpa strategi budaya yang kuat dan keberanian untuk menjaga identitas nasional, Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi budaya global, bukan subjek yang berdaulat dalam pergaulan dunia.
Kini saatnya negara, pelaku budaya, dan masyarakat bersatu: membangun ekosistem budaya yang adil, memperkuat pendidikan karakter berbasis budaya lokal, dan memastikan bahwa seni dan budaya Indonesia tetap berdiri tegak sebagai penanda peradaban bangsa.
Nah mari kita dorong terus kedaulatan budaya kita dan tanpa henti dan harus setia dengan kedaulatan bangsa ini. Tabik!!
*)Anggota Forum Seni Budaya Indonesia (FSBI) tinggal di Jakarta
8 Juni 2025