JAKARTASATU.COM– Pengamat politik Rocky Gerung, melalui kanal YouTube pribadinya, Senin (9/6/2025) mengemukakan analisisnya mengenai arah politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) pasca-masa jabatannya. Menurut Rocky, Jokowi kemungkinan besar akan berlabuh ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI), bukan Golkar atau PPP. Hal ini didasarkan pada pernyataan Jokowi sendiri yang menolak maju sebagai ketua umum PPP dan memilih untuk tetap di PSI.
Rocky menilai langkah ini sebagai persiapan backup politik bagi Jokowi. “Apa pun analisis orang terhadap pemakzulan Gibran, terhadap kasus ‘fufufafa’, terhadap ijazah Pak Jokowi, tetap Jokowi sudah tumbuh sebagai politisi yang sudah ketagihan kekuasaan,” ujar Rocky. Ia menambahkan bahwa pengalaman 10 tahun berkuasa akan digunakan Jokowi untuk menguji apakah dia masih mampu mengatur politik Indonesia atau sebaliknya.
Menurut Rocky, pensiun total dari dunia politik tidak mungkin bagi Jokowi. “Pensiun tentu tidak mungkin karena dia masih harus terlibat mempersiapkan anak-anaknya, dia masih harus beraktivitas secara intensif untuk menggalang potensi dia kembali berpengaruh atau paling tidak ada di dalam lingkaran politik elite itu,” jelasnya.
Dengan investasi politik pada anak-anaknya, terutama Kaesang Pangarep yang menjadi ketua umum PSI, masuk akal jika Jokowi berpikir untuk memiliki partai sendiri.
Rocky menyebut PSI sebagai partai yang “disediakan” untuk Jokowi, sehingga secara otomatis terkait dengan kepentingan politiknya, termasuk aspek dinasti politik. Ia melihat bahwa dukungan finansial PSI juga akan mudah didapatkan karena keberadaan Jokowi. “Dengan mudah sebetulnya Jokowi memilih bahwa daripada harus keluar uang masuk PPP kan, PPP tiketnya akan mahal juga. Lebih baik memperbesar animal farm-nya itu, peternakan politiknya yang sudah jadi,” sindir Rocky.
Pertanyaan utama yang diajukan Rocky adalah mengenai kalkulasi politik di balik pilihan Jokowi ini dan apa benchmarking ideologi PSI. Ia mengakui mengenal PSI sejak awal pembentukannya, bahkan sempat menjadi narasumber dan penulis di jurnal mereka, dengan harapan PSI menjadi wadah untuk mewujudkan ide-ide sosialisme, kebebasan, dan keadilan.
Namun, Rocky menyayangkan bahwa PSI kemudian berubah menjadi partai oligarki. “Itu partai yang disiapkan untuk kalangan pendukung Jokowi itu. Jadi kalau partai itu kemudian jadi tunggangan Jokowi hari ini, ya makin masuk akal,” ujarnya. Ia memprediksi Jokowi akan menjadi ketua dewan pembina, Kaesang tetap ketua umum, dan Gibran juga akan terlibat untuk “melengkapi sejarah kedinastian.”
Menurutnya, langkah Jokowi masuk PSI ini adalah upaya untuk menciptakan “percikan politik baru” atau “kejutan” agar partai tersebut dapat berkompetisi di Pemilu 2029. “Dari awal kita dukung saja Pak Jokowi ikut di dalam partai yang memang disediakan oleh dari dan untuk dia itu,” kata Rocky.
Secara filosofis, Rocky Gerung mempertanyakan “panggilan moral” (moral call) Jokowi untuk kembali terlibat dalam politik. Ia membandingkannya dengan moral call para tokoh politik lain seperti SBY, Megawati, atau Prabowo Subianto. “Pak Jokowi panggilannya apa tuh? Kan tidak mungkin atau agak dangkal kalau panggilannya sekedar untuk pamer atau untuk membuktikan bahwa Pak Jokowi masih bermakna sira putih,” tegasnya.
Ia mendesak PSI untuk menunjukkan ideologi pembedanya. “Apa ideologi PSI ini jadinya? Ke arah mana sistem ekonomi akan diarahkan oleh PSI? Ke arah mana kemajemukan kebudayaan akan dipelihara oleh PSI? Ke tempat mana keadilan sosial akan berteduh di dalam dokumen-dokumen atau program dari partai PSI ini?” tanyanya retoris, menekankan pentingnya landasan ideologis.
Rocky juga menganalisis kemungkinan lain di balik langkah Jokowi ini. Ia melihat adanya upaya defensif dari Jokowi di tengah sorotan publik terkait isu ijazah palsu dan desakan pemakzulan Gibran. “Balancing informasi memang sekarang menunjukkan bahwa Jokowi seolah-olah terdesak secara politik, secara psikologis, dan itu mungkin yang membuat publik merasa bahwa ya Jokowi ingin bikin partai politik atau membesarkan PSI itu semacam reaksi defensif beliau tuh,” paparnya.
Kondisi ini, menurut Rocky, mencerminkan adanya kecemasan laten pada mantan pemimpin yang biasa disebut sebagai post-power syndrome. Namun, ia melihat sindrom Jokowi ini bukan sekadar keinginan mengulang kejayaan, melainkan karena “jebakan-jebakan politik yang bisa menyeret Jokowi ke meja pengadilan” terkait isu ijazah dan dugaan “penyelundupan hukum” yang memungkinkan Gibran menjadi wakil presiden.
Terakhir, Rocky menyoroti dinamika hubungan Jokowi dengan Prabowo Subianto, terutama setelah terlihatnya kedekatan Prabowo dengan Megawati Soekarnoputri. “Jokowi ada di dalam sebenarnya kecemasan laten yang ada pada setiap mantan pemimpin… apakah kapasitas politik Jokowi sekarang masih mampu untuk memanage sebuah partai politik yang kebutuhan keuangannya besar sekali? Ya, pasti sudah ada pembicaraan dengan investor yang mungkin merasa bahwa Jokowi sebaiknya dikembalikan ke dalam sistem politik karena lebih mudah diajak untuk bersekongkol misalnya,” tutup Rocky Gerung. (RIS)