JAKARTASATU.COM– Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, mengakhiri khotbah Salat Iduladha 1446 H dengan memimpin doa yang menyentuh hati, memohon petunjuk dan kekuatan dari Allah SWT untuk perbaikan bangsa. Dalam doanya, Anies menyampaikan refleksi mendalam tentang kondisi bangsa dan harapan akan tegaknya keadilan.
Mengawali doa, Anies menyerukan agar umat menundukkan hati dan mengangkat tangan, menyadari bahwa di tengah segala ikhtiar, hanya kepada Allah-lah tempat bersandar dan memohon pertolongan.
“Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim, ya Malikul Muluk, Tuhan yang Maha Adil, yang Maha Mengatur seluruh urusan negeri dan umat manusia,” Anies memulai doanya. Ia kemudian mengadukan “luka-luka yang belum sembuh di tanah air kami.”
Doa tersebut secara spesifik menyoroti beberapa permasalahan krusial yang dianggap masih menghinggapi Indonesia:
- Kejujuran kerap disingkirkan.
- Kompetensi dikalahkan oleh koneksi.
- Kemiskinan diwariskan dari generasi ke generasi karena sistem yang enggan dibenahi.
Anies menekankan bahwa keadilan dan kesetaraan bukanlah sekadar hasil niat baik, melainkan buah dari keberanian untuk “menyentuh akar yang lebih dalam yang kadang menyakitkan, yang sering tersembunyi di balik kebiasaan dan kenyamanan.” Dalam kesadaran inilah, ia mengajak untuk berserah diri kepada Allah, memohon perlindungan dan petunjuk agar tidak hanyut dalam keputusasaan.
Dengan menyebut nama Allah, Ya Hakim Ya Basir (Yang Maha Bijaksana, Yang Maha Melihat), Anies memohon agar hati umat tidak beku di hadapan derita sesama dan tidak terbiasa memalingkan wajah dari kezaliman. Ia berdoa agar nurani terbuka untuk tidak sekadar tertegun menyaksikan ketimpangan, melainkan punya keberanian untuk mendekat, memahami, dan bertindak dengan kemampuan yang dimiliki.
Sebagai Ya Hadi Ya Nur (Cahaya Langit dan Bumi), Anies memohon agar akal dan nurani diterangi, sehingga umat tidak hanya menjadi penonton yang menyimpan simpati, melainkan memiliki tekad untuk menolong yang lemah, membela yang terpinggirkan, dan memperjuangkan keadilan sebagai laku hidup. “Kuatkan kami agar kami tak hanya mengutuk kegelapan, tapi mampu menyerut cahaya meski kecil, meski satu,” doanya.
Ia juga memohon kepada Ya Aziz ya Qawi (Yang Maha Kuat), agar diberikan kekuatan dan keteguhan jiwa bila langkah goyah, surut, atau gemetar. “Kami ingin menjadi manusia yang utuh, yang hatinya hidup, yang nuraninya menyala dan arah keberpihakannya jelas,” ungkap Anies.
Doa ditutup dengan permohonan agar umat tidak dijadikan generasi yang lalai, melainkan menjadi penjahit harapan, penegak keadilan, dan pembela sesama. Ia menekankan agar hal tersebut dilakukan bukan dengan amarah, melainkan dengan kasih yang penuh, dan bukan dengan kesombongan, melainkan dengan keberanian yang jernih.
“Ya Mujib ya Ghafur, yang Maha Pengampun atas segala khilaf dan lalai. Ampunilah ya Allah kesalahan dan kesombongan kami. Rahmatilah kami agar tidak hanya mengerti tapi juga peduli. Jangan biarkan kami hidup hanya untuk diri sendiri, ketika ada begitu banyak yang menunggu uluran hati, yang menunggu uluran tangan kami,” pungkas Anies.
Doa diakhiri dengan penyerahan diri total kepada Allah, memohon agar keikhlasan menjadi tenaga dalam membantu sesama dan menjadikan umat manusia yang bermanfaat bagi banyak orang. “Hanya kepada-Mu kami sandarkan harapan yang tak bisa kami ucapkan kepada sesama. Hanya kepada-Mu kami titipkan luka yang tak bisa disembuhkan oleh kekuasaan manapun. Dan hanya kepada-Mu kami kembalikan segala ikhtiar yang tak mampu kami tuntaskan oleh tangan kami sendiri. Cukuplah Engkau bagi kami ya Allah. Tak ada Tuhan selain Engkau ya Allah, dan hanya kepada-Mu kami berserah.” (RIS)