Foto: dok. ist

JAKARTASATU.COM– Forum Alumni Badan Eksekutif Mahasiswa (FABEM) menyatakan penolakan tegas terhadap rencana penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat. Penolakan ini didasari pada kekhawatiran akan dampak lingkungan dan sosial yang signifikan, serta penegasan bahwa penambangan bukanlah prioritas di wilayah pulau-pulau kecil.

Ketua Umum FABEM, Zainuddin Arsyad, memimpin penolakan ini, menyoroti ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati Raja Ampat yang diakui dunia.

FABEM menggarisbawahi berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh penambangan nikel, antara lain pencemaran air.

“Air asam tambang dan sedimentasi dapat mencemari sumber air bersih, merusak ekosistem laut, dan mengurangi keanekaragaman hayati,” demikian katanya dalam keterangannya, Ahad.

Kedua, pencemaran tanah. Menurutnya, limbah tambang berpotensi mencemari tanah, memicu erosi, dan longsor. Lainnya adalah kerusakan kkosistem. “Penambangan dapat mengganggu habitat satwa liar, menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, dan mengurangi populasi spesies tertentu.”

Selain itu deforestasi—aktivitas penambangan nikel seringkali berujung pada deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim mikro. Terakhir dampak sosial, di mana masyarakat sekitar tambang berisiko kehilangan mata pencarian dan mengalami gangguan kesehatan akibat pencemaran lingkungan.

FABEM menekankan bahwa Raja Ampat merupakan surga keanekaragaman hayati laut global, dengan lebih dari 2.500 spesies ikan laut (Sumber: World Wildlife Fund), 75% spesies karang dunia (Sumber: Conservation International), berbagai jenis moluska (Sumber: Indonesian Ministry of Marine Affairs and Fisheries), serta mamalia laut seperti lumba-lumba, paus, dan dugong (Sumber: World Wildlife Fund).

“Raja Ampat adalah salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Penambangan nikel di daerah ini akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat diperbaiki dan berdampak pada generasi selanjutnya,” tegas Zainuddin Arsyad.

FABEM mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu membela alam dan menolak rencana penambangan nikel di Raja Ampat. “Kami percaya bahwa lingkungan hidup adalah warisan berharga yang harus dijaga dan dilindungi untuk generasi selanjutnya,” tambah Zainuddin Arsyad.

Tody Ardiyansah Prabu, Wakil Ketua Umum Bidang Kerjasama Antar Lembaga & Bidang Hukum FABEM, menyatakan kesiapannya untuk mengawal dan mengkonsolidasikan gerakan penolakan ini. “Kami akan bekerja sama dengan organisasi lain dan masyarakat untuk memperkuat gerakan ini dan memastikan bahwa lingkungan hidup di Raja Ampat tetap terjaga,” ujarnya.

Tody menambahkan, FABEM akan terus memperjuangkan isu lingkungan pro-rakyat dan mengkritisi penambang yang menyebabkan kerusakan lingkungan parah di seluruh Indonesia akibat pengelolaan yang tidak sesuai prosedur. Ini termasuk penekanan pada pentingnya Good Mining Practice (GMP) atau kaidah teknik pertambangan yang baik, yang mencakup aspek teknis, konservasi, pengelolaan lingkungan, K3, dan pemberdayaan masyarakat.

Tody juga merujuk pada regulasi yang mendukung penolakan ini. “Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) dan Pasal 35 huruf k UU Nomor 1 Tahun 2014, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya diprioritaskan untuk kegiatan non-pertambangan, seperti konservasi, pendidikan, perikanan, dan pariwisata berkelanjutan,” jelasnya. Hal ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023.

Tody menegaskan bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil harus memenuhi syarat kumulatif, termasuk pengelolaan lingkungan yang baik, memperhatikan kelestarian sistem tata air, dan menggunakan teknologi ramah lingkungan. Ia juga mengingatkan Pasal 35 UU Nomor 27 Tahun 2007 yang melarang aktivitas yang dapat mengganggu ekosistem dan kelestarian sumber daya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. (RIS)