Foto: dok. JATAM

JAKARTASATU.COM– Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melancarkan kritik tajam terhadap praktik penambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, dan 34 pulau kecil lainnya di Indonesia. JATAM menuding negara telah merestui “penjarahan” pulau-pulau kecil atas nama pembangunan, padahal aktivitas ini merusak lingkungan dan mengancam kehidupan masyarakat lokal.

JATAM mengungkapkan bahwa PT Gag Nikel telah mengantongi izin menambang nikel seluas 13.136 hektare hingga tahun 2047 dengan status Kontrak Karya sejak 2017. Angka ini dua kali lipat lebih luas dari total luas daratan Pulau Gag yang hanya 6.500 hektare, di mana 6.034,42 hektare di antaranya berstatus hutan lindung. Hal ini berarti PT Gag Nikel “mencaplok” seluruh daratan dan perairan Pulau Gag. Demikian dikutip laman JATAM,  Ahad (8/6/2025).

JATAM menegaskan bahwa Pulau Gag, dengan luasnya yang terbatas, seharusnya dikategorikan sebagai pulau kecil. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), penambangan di pulau kecil dilarang. Prinsip ini semakin diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang menolak uji materiil pasal-pasal krusial mengenai larangan penambangan di pulau kecil.

“Kepulauan Raja Ampat yang kerap disanjung-sanjung pemerintah sebagai destinasi pariwisata unggulan Indonesia, kini tengah menanti perluasan kerusakan ekologi akibat aktivitas pertambangan di lima konsesi,” sebut JATAM. Kelima konsesi nikel ini disebut sebagai “bom waktu” bagi keindahan Raja Ampat, yang justru mendunia berkat keelokan dan keberlanjutan fungsi alamnya.

Pulau Gag disebut JATAM hanyalah satu dari 35 pulau kecil di Indonesia yang dijarah kegiatan tambang. Total, terdapat 195 izin pertambangan seluas 351.933 hektare yang mencaplok puluhan pulau kecil. JATAM menyebut kondisi ini “ironis” karena seluruh kegiatan ini berlangsung atas restu negara, bahkan sering mengatasnamakan “pembangunan hijau”.

Menurut JATAM, pertambangan di pulau kecil adalah petaka karena kerentanan alamnya yang sangat tinggi. Hutan-hutan di pulau kecil merupakan benteng perlindungan alami bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati, berperan dalam menjaga iklim mikro, tata kelola air, sumber pangan, hingga pertahanan alami dari bencana.

Lebih lanjut, JATAM menyatakan bahwa aktivitas pertambangan menghancurkan satu-satunya ruang kehidupan warga dengan menguras sumber air, pangan, dan obat-obatan herbal tradisional. “Pertambangan di pulau kecil sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan,” tegas JATAM.

Parahnya, lebih dari 79 warga pulau kecil yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya telah dikriminalisasi. Mereka dipukul, ditangkap, bahkan dipenjara hanya karena mempertahankan tanah dan laut yang telah mereka jaga turun-temurun. Kriminalisasi ini seringkali menggunakan pasal-pasal seperti pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP), merintangi kegiatan pertambangan (Pasal 162 UU Minerba), kekerasan (Pasal 170 KUHP), hingga perampasan kemerdekaan (Pasal 333 KUHP), yang menurut JATAM, kerap ditetapkan tanpa dasar hukum kuat. Contohnya, 44 warga Wawonii dikriminalisasi setelah menolak konsesi tambang.

JATAM secara terang-terangan menuding Kementerian ESDM, di bawah pimpinan Bahlil Lahadalia, sebagai pihak yang mendukung penuh praktik penjarahan pulau kecil. JATAM menyebut klaim Bahlil yang menyatakan tidak ada masalah dan kerusakan di Raja Ampat sebagai “kebohongan luar biasa.” Berdasarkan analisis citra satelit, deforestasi di Pulau Gag antara 2017-2024 mencapai 262 hektare, belum termasuk kerusakan pesisir, terumbu karang, dan pencemaran lumpur.

Bahlil juga dikritik karena menepis kekhawatiran dampak tambang terhadap pariwisata Raja Ampat, dengan menganggap jarak lokasi tambang “hanya” 30-40 kilometer tidak akan berdampak signifikan. JATAM juga menyayangkan sikap Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, dan Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu, yang disebut “kompak menutupi kerusakan” dan menganggapnya “hoax.”

“Dalam konteks bernegara, menjadi terang bahwa negara yang seharusnya menjadi pelindung bagi lingkungan dan masyarakat, justru berperan sebagai kaki tangan korporasi dalam mengeksploitasi sumber daya alam,” tukas JATAM. Organisasi ini menilai tindakan pemerintah yang menyangkal kerusakan dan menutup-nutupi fakta menunjukkan “topeng asli negara sebagai pelaku utama kejahatan ekologis” yang hanya akan mewariskan utang ekologis.

JATAM juga menyoroti pengabaian supremasi hukum, dengan lemahnya penegakan putusan MA dan MK yang tegas melarang aktivitas pertambangan di pulau kecil, seperti di Wawonii dan Sangihe. Meskipun putusan telah berkekuatan hukum tetap, penghentian total aktivitas di lapangan tak pernah dilakukan, membuat negara kehilangan legitimasi sebagai pelindung rakyat.

Tuntutan JATAM kepada Pemerintah

JATAM secara terbuka menantang pemerintah untuk segera memenuhi tuntutan mereka, bukan hanya klarifikasi atau retorika belaka:

  1. Mencabut semua regulasi yang melegalkan tambang di pulau kecil, termasuk Undang-Undang Mineral dan Batubara serta aturan turunannya.
  2. Menyusun perlindungan hukum yang tegas dan tanpa celah untuk pulau-pulau kecil.
  3. Menghapus semua rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang mengakomodasi kepentingan tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
  4. Menghentikan, mengevaluasi, mengaudit, dan mencabut seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil yang sudah terlanjur dieksploitasi.
  5. Berhenti menerbitkan izin tambang baru di pulau kecil Indonesia. (RIS)