Foto: Prastowo Yustinus (Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis periode tahun 2020-2024), dok. cnnindonesia

JAKARTASATU.COM– Prastowo Yustinus, mantan Staf Khusus Menteri Keuangan, menyoroti tantangan besar bagi ilmu ekonomi, akuntansi, dan perpajakan untuk mengintegrasikan potensi kerusakan lingkungan ke dalam kerangka teori dan praktik terbaik. Menurutnya, selama ini pengakuan biaya hanya didasarkan pada pengeluaran aktual, tanpa memperhitungkan potensi dan risiko kerugian akibat rusaknya lingkungan.

Melalui cuitannya, kemarin, Prastowo menyampaikan beberapa masukan sederhana untuk memicu diskusi, dengan harapan polemik seputar tambang dapat membawa perubahan positif.

Prastowo mengusulkan agar faktor kerusakan lingkungan akibat pembangunan dan eksploitasi dapat dihitung dan dikurangkan dari Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Ini bertujuan untuk merefleksikan kerugian yang akan ditanggung masa depan, bukan sekadar pertumbuhan semu.

Dengan demikian, akan terlihat jelas generasi dan sektor mana yang mewariskan masalah lingkungan.

Ia menyarankan agar potensi dan risiko kerusakan lingkungan yang telah dihitung dicatat sebagai liabilitas atau kewajiban dalam laporan keuangan perusahaan. Kewajiban ini akan berkurang jika perusahaan melakukan pemeliharaan lingkungan atau membayar kompensasi atas kerusakan yang ditimbulkan.

Prastowo mengusulkan perluasan cakupan konsep biaya 3M (mendapatkan, memelihara, dan menagih penghasilan). Menurutnya, sebesar hitungan potensi kerusakan lingkungan tersebut tidak seharusnya diakui sebagai biaya fiskal sampai perusahaan melakukan upaya konkret untuk mengatasi kerusakan, seperti menutup lubang tambang, melakukan penghijauan, atau memberikan kompensasi lainnya.

Prastowo berharap kebijakan publik dan hukum yang berperspektif keadilan ekologis akan semakin mendapat tempat dalam pembangunan nasional. Usulan ini muncul di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap dampak lingkungan dari aktivitas ekonomi, khususnya sektor pertambangan. (RIS)