JAKARTASATU.COM – Di tengah derasnya arus digital yang menggulung batas-batas informasi, di sebuah ruangan megah di Jakarta Pusat, suara Meutya Hafid menggema tegas, bukan karena statusnya sebagai Menteri Komunikasi dan Digital, tapi sebagai eks jurnalis yang tahu persis taruhannya bila media kehilangan jiwanya: kredibilitas.
Forum “4 Dekade Bisnis Indonesia” yang semula tampak sebagai seremoni reflektif ulang tahun media ekonomi itu, perlahan menjelma menjadi mimbar kontemplatif. Di hadapan pelaku industri dan awak pers, Meutya bicara bukan hanya soal tantangan, melainkan perlawanan. Sebab hari ini, medan tempur media bukan sekadar soal memproduksi berita, tapi mempertahankan kepercayaan di tengah gelombang disinformasi, konten dangkal, dan algoritma tak bermoral.
Pertarungan Melawan Lupa: Tiga Luka, Lima Peluang
Meutya Hafid menyebut tiga luka terbuka yang dihadapi industri media hari ini: tekanan dari platform digital global, fragmentasi audiens, dan perubahan besar menuju konsumsi konten berbasis audio-visual. Bukan analisis kosong, karena realitasnya terpampang jelas. Berita tertulis kian tergeser oleh video pendek viral, headline serius dikalahkan oleh konten hiburan serba lucu dan cepat. Masyarakat lebih akrab dengan suara narator TikTok ketimbang reporter di lapangan.
Namun di balik tiga luka itu, Meutya tak sekadar menyodorkan rasa prihatin. Ia merinci lima tren baru sebagai pintu menuju masa depan media yang adaptif dan kuat. Tren itu meliputi personalisasi konten, diversifikasi monetisasi, dominasi video dan audio, penggunaan data yang intensif, serta penguatan kualitas dan kredibilitas.
Ini bukan retorika manis. Data dari kuartal pertama 2024 menunjukkan belanja iklan media nasional mencapai USD744 juta—sebuah angka yang menggambarkan harapan. Dunia usaha, dengan segala kalkulasi rasionalnya, ternyata masih melihat media sebagai kanal strategis. Sinyal ini, bagi Meutya, menegaskan bahwa kredibilitas masih memiliki nilai jual, bahkan di era algoritma.
Agenda Tiga Poros: Literasi, Etika, dan SDM
Dalam lanskap digital yang bising, membangun ekosistem media tak bisa dikerjakan oleh jurnalis sendirian. Kementerian Komdigi, kata Meutya, telah menyiapkan tiga poros kerja: literasi digital menyeluruh, penguatan etika dan tata kelola teknologi, serta peningkatan kapasitas SDM media. Bukan jargon, melainkan program konkret agar masyarakat mampu memilah informasi, memahami batas etis AI dan platform, sekaligus mendorong jurnalis agar tak sekadar melek digital, tapi juga tahan banting menghadapi disrupsi.
Ada kesadaran bahwa melawan hoaks, judi online, pornografi, dan ragam konten destruktif tak cukup hanya dengan sensor dan regulasi. Perlu ekosistem. Perlu kehadiran media yang tidak sekadar cepat, tapi juga dapat dipercaya. Ketika ruang digital sehat, kepercayaan pada media akan tumbuh kembali.
Dalam konteks ini, inisiatif Publisher Rights menjadi relevan. Sebuah langkah berani pemerintah untuk memastikan platform digital membayar konten berita yang mereka distribusikan. Ini soal keberpihakan pada keberlangsungan media lokal yang selama ini kalah kuasa dalam negosiasi global. Jika aturan ini dijalankan dengan konsisten, maka itu bukan hanya soal menjaga bisnis media, tapi menjaga demokrasi.
Titik Tumbuh dari Titik Temu
Empat puluh tahun Bisnis Indonesia adalah saksi waktu. Ia lahir di era Orde Baru, tumbuh di zaman reformasi, dan kini menapak di medan baru era digital. Meutya Hafid menjadikan momen ini sebagai simbol: bahwa media sejatinya bukan hanya pencatat zaman, melainkan penentu arah zaman. Dalam ucapannya yang bernada ajakan, ia menginginkan momentum ini menjadi titik temu bagi semua pihak yaitu: pemerintah, media, dan public untuk menjadikan media nasional sebagai simpul suara rakyat, penggerak ekonomi, dan pilar demokrasi.
Ini bukan tugas ringan. Namun bukan pula tugas yang mustahil. Karena di balik setiap tantangan digital hari ini, selalu ada peluang kolaboratif yang menunggu untuk dijemput. Meutya tahu persis bahwa tanpa media yang sehat, demokrasi akan keropos dari dalam. Maka ia memilih menguatkan, bukan mengendalikan. Menyemangati, bukan mencurigai.
Namun sejatinya di luar forum itu, realitas tetap keras. Honor jurnalis masih rendah. Media kecil berguguran. Redaksi dihantui clickbait dan tekanan pemilik modal. Namun satu hal tak boleh hilang, nyala api idealisme.
Meutya Hafid mengingatkan kita bahwa media bukan sekadar bisnis, tapi peradaban. Dan peradaban tidak bisa bertahan tanpa pilar informasi yang jujur dan kuat.
Jurnalisme mungkin tak lagi ditulis di kertas, tapi nilai-nilainya harus terus hidup dalam nalar digital. Di tengah derasnya gelombang informasi palsu, media yang kredibel adalah mercusuar terakhir. Dan di bawah langit Indonesia yang luas ini, kita masih butuh mercusuar. |WAW-JAKSAT
Editorial Jakartasatu: Sinergi Konstruktif dan Faizal AssegafADALAH SINKOS (Sinergi Konstruktif) yang di Inisiatori oleh Faizal Assegaf hadir dan menyerukan “JAGA NKRI”. Kritikus Politik Indonesia...
JAKARTASATU.COM -- Dalam rangka menyambut HUT ke-498 DKI Jakarta, pada Jum’at, 20 Juni 2025, di Museum Kesejarahan Jakarta (dahulu Museum Fatahillah), Taman Fatahillah, Jakarta...
JAKARTASATU.COM- Inisiator Sinkos (Sinergi Konstruktif), Faizal Assegaf, secara resmi meluncurkan lembaga riset, monitoring, dan advokasi dalam sebuah acara diskusi bertajuk "Jaga NKRI", di Tebet...
"Obsesi Jokowi Melanjutkan Posisi Amangkurat V Kandas"
Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum & Politik)
Amangkurat yang terakhir adalah Amangkurat V, juga dikenal sebagai Sunan...
RUDAL YANG MENEMBUS "SOLO DOME"
by M Rizal Fadillah
Pengungkapan aktivis PDIP Beathor Suryadi mengenai dugaan ijazah palsu Joko Widodo cukup menghebohkan. Berdasarkan aktivitas Tim "Jokowi"...