Tambang, Geopark, dan Narasi Izin: Mencermati Paradoks di Raja Ampat
Catatan dari Cilandak: Aendra Medita
Keputusan pemerintah untuk mencabut izin empat perusahaan tambang di Kabupaten Raja Ampat patut diapresiasi sebagai langkah progresif dalam menjaga kawasan konservasi. Namun jika dicermati lebih jauh, kebijakan ini memunculkan ironi yang layak direnungkan lebih dalam, terutama terkait dengan keberlanjutan, keadilan tata kelola sumber daya alam, dan komitmen ekologis yang seharusnya konsisten.
Empat perusahaan—PT Kawei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, PT Anugerah Surya Pratama, dan PT Nurham—dicabut izinnya oleh pemerintah. Menariknya, keempatnya belum melakukan aktivitas penambangan aktif. Sebagian belum pernah mengajukan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya), sebagian lain bahkan belum membangun infrastruktur apa pun di lapangan.
Namun, satu perusahaan tetap beroperasi: PT Gag Nikel, yang sejak beberapa tahun terakhir telah memproduksi jutaan ton nikel dari Pulau Gag. Perusahaan ini menjadi satu-satunya yang tetap memegang izin operasi produksi hingga 2026, lengkap dengan persetujuan RKAB. Antara Kepatuhan dan Ketimpangan Persepsi Jika merujuk pada logika regulasi, PT Gag Nikel memang memenuhi semua persyaratan formal. RKAB mereka disetujui, aktivitas produksi berjalan, dan izin berada dalam koridor legal.
Namun jika kita berbicara dari perspektif konservasi dan geopark, akan muncul pertanyaan kritis: Mengapa yang telah aktif mengeksploitasi dibiarkan, sementara yang belum memulai justru dihentikan? Pertanyaan ini penting, karena keseluruhan kawasan ini kini berstatus Geopark Raja Ampat, yang bukan sekadar label nasional, tapi juga telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan geologi dunia. Dalam konteks geopark, konsep keberlanjutan bukan hanya soal dokumen administratif, melainkan integritas ekosistem secara utuh. Kapan Komitmen Dimulai?
Geopark Raja Ampat ditetapkan secara nasional sejak 2017, dan baru pada 2023 memperoleh pengakuan UNESCO. Namun langkah korektif terhadap perizinan tambang baru dilakukan di tahun 2025. Ini menyiratkan adanya keterlambatan dalam menyelaraskan kebijakan sumber daya alam dengan kerangka perlindungan kawasan geologis dan ekologis. Kita tidak sedang membicarakan semata-mata tentang legalitas.
Kita sedang menyoal konsistensi kebijakan dan arah keberlanjutan nasional. Ketika satu perusahaan yang telah berproduksi tetap dilanjutkan izinnya, sementara empat lainnya yang belum aktif justru dicabut, publik berhak bertanya:
Apakah ini cermin keberimbangan atau sekadar kompromi pada realitas investasi?
Pijakan Ke Depan Pengelolaan kawasan strategis seperti Raja Ampat memerlukan pendekatan yang jauh lebih komprehensif. Bukan hanya seleksi administratif, tetapi evaluasi menyeluruh: mulai dari dampak sosial-lingkungan, pemetaan ekologis, hingga rekonsiliasi kepentingan ekonomi dan konservasi.
Dalam dunia energi dan tambang, keberlanjutan tak bisa sekadar slogan. Ia harus hadir dalam bentuk keputusan yang menyeluruh, transparan, dan menjawab logika ekologi maupun logika ekonomi dalam satu kerangka yang adil.
Refleksi untuk Masa Depan Kasus Raja Ampat menyadarkan kita bahwa di tengah euforia energi transisi dan dorongan industri nikel sebagai penopang kendaraan listrik, kita tetap tidak boleh melupakan ruang-ruang yang perlu dijaga, bukan dieksploitasi.
Karena sesungguhnya, investasi terbaik adalah ketika masa depan ekologis dan sosial masyarakat lokal tetap terjaga—dan itu lebih dari sekadar angka produksi atau RKAB yang disetujui. Tabik..!!!