
Di tengah bayang-bayang resesi global, kolaborasi Sino-Indonesia ini ibarat mercusuar kecil di tengah kabut. Ia mengingatkan kita bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah mimpi utopis, melainkan panggung di mana korporasi dan pemerintah harus menari bersama atau tenggelam bersama.
JAKARTASATU.COM – NEW YORK, Di tengah pusaran krisis iklim dan ketimpangan ekonomi global, sebuah narasi baru tengah ditulis oleh dua raksasa Asia. China dan Indonesia. Didukung keunggulan gabungan populasi yang menncapai lebih dari 1,6 miliar jiwa, kini mereka merajut kemitraan strategis di bawah payung Sustainable Development Goals (SDG). Kolaborasi ini bukan sekadar diplomasi ekonomi, melainkan sebuah terobosan untuk menjawab pertanyaan krusial, “Bagaimana sektor swasta bisa menjadi lokomotif pembangunan berkelanjutan?”
Pada Mei lalu, di sela KTT Bisnis Global tentang Investasi Infrastruktur Belt and Road, Pemerintah Indonesia dan UN Global Compact (UNGC) meluncurkan Jaringan Aksi Komunitas Perusahaan Sino-Indonesia. Forum ini menjadi ajang pertemuan langka antara korporasi, pembuat kebijakan, dan perwakilan PBB untuk merancang peta jalan investasi berkelanjutan.
Defisit Pembiayaan dan Peran Korporasi
Data Bappenas mengungkapkan fakta mengejutkan, Indonesia membutuhkan USD 8,7 triliun untuk mencapai SDG pada 2030. Namun, 20% dari angka itu masih berupa lubang finansial yang harus diisi. Wakil Menteri Investasi Todung Pasaribu mengakui, “Kami menargetkan USD 815 miliar investasi langsung berkualitas tinggi dalam lima tahun ke depan, dengan pertumbuhan 15,7% per tahun.”
Di sinilah UNGC masuk. Sebagai sayap bisnis PBB, mereka memobilisasi korporasi untuk mengisi celah itu. Gita Sabharwal, Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, menyebut jaringan lokal UNGC, Indonesia Global Compact Network (IGCN), telah menjadi game changer. “154 anggotanya mewakili pendapatan tahunan USD 266 miliar dan setengah juta pekerja. Mereka mulai mengarusutamakan prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) hingga ke level dewan direksi,” ujarnya.
