Aendra Medita / Andis-csri

KENAPA SUMUT MAU MEREBUT 4 PULAU ACEH?

ADA Pulau yang Diperebutkan, Betulakah ada Hasrat Migas dan Kepentingan Daerah?

CATATAN dari Cilandak Aendra Medita
WADUH apa lagi ini…..Baru saja bergulir soal Raja Ampat di tanah Cendrawasih Ppaua sana, kini suara keras lagi datang dari Aceh dan Sumatra Utara. Jenapa bangsa ini? suka sekali membuat isu sensitif, tapi sesungguhnya menyimpan ledakan konflik serius yang sedang menggelayuti kawasan “selalu” laut di Indonesia. Pernah rame laut pagar, dan tambang nikel. Kini ada empat pulau kecil di ujung pantai barat Sumatera rame di bicarakan. Bahkan Mendagri yang membuat surat sakti yang diterbitkan Mendagri Tito Karnavian bisa memicu perpecahan antara Provinsi Sumit dengan Aceh. Riak-riak perpecahan tercermin dari pertemuan Gubernur Sumut Bobby Nasution, dengan Gubernur Aceh, Muzakkir Manaf, pada Rabu (4/6/2025) lalu.
Pertemuan berlangsung di Pendopo Gubernur Aceh itu berlangsung singkat, hanya hitungan menit. Mualem, sapaan Gubernur Aceh, meninggalkan lokasi lebih awal untuk memenuhi agenda pertemuan dengan masyarakat di wilayah Barat Selatan (Barsela) Aceh.
Pengamat kebijakan publik sekaligus akademisi Universitas Syiah Kuala, Aceh, Dr Nasrul Zaman khawatir akan perpecahan ini. Langkah Tito menerbitkan SK tersebut bisa melukai perjuangan panjang negara dalam mendamaikan Aceh. Dia mendesak Presiden Prabowo Subianto turun tangan dan mencopot Tito.
“Hal ini penting dilakukan presiden. Sejarah panjang republik ini dengan Aceh dan dicaploknya empat pulau itu menjadi benih perpecahan dan perlawanan pasca damai di Aceh,” kata Nasrul kepada wartawan, dikutip di Jakarta, Rabu (11/6/2025).
Tito Karnavian Sedang Balas Jasa ke Jokowi dengan Serahkan 4 Pulau Aceh ke  Sumut
Namun Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian enggan menanggapi pengalihan empat pulau milik Provinsi Aceh, yang mendapatkan protes dari berbagai pihak. Ia merasa sudah memberikan penjelasan yang cukup ke publik. “Saya sudah memberikan penjelasan di Istana kemarin. Hari ini, Dirjen Administrasi Wilayah saya, Pak Safrizal, itu juga mengundang beberapa media. Kemarin juga rapat di Menkopolkam, (sudah) menjelaskan,” kata Tito saat ditemui di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (11/6/2025).
“Saya tidak mau mengulangi di saat ini. Karena nanti isinya dipotong saja. Saya kemarin sudah lengkap menjelaskan,” sambungnya menekankan.
Sebelumnya, anggota DPD RI asal Aceh, Azhari Cage geram dengan langkah Tito yang mengeluarkan Surat Keputusan (SK) soal pengalihan pengelolaan Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek ke Provinsi Sumatera Utara (Sumut).
Dia menolak mentah-mentah SK Mendagri bernomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 itu. Terbitnya surat itu merupakan penghinaan atas sejarah.
“Hanya orang gila yang mau kelola bersama. Pulau itu milik Aceh secara sah, kok malah ditawarkan dikelola bareng,” kata dia kepada wartawan, dikutip di Jakarta, Rabu (11/6/2025).
Empat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek, menjadi rebutan dua provinsi besar, Sumatera Utara dan Aceh.
Kenapa sebabnya? Ternyata, keempat pulau mungil yang dulu barangkali hanya dikenal oleh nelayan dan penjaga mercusuar, kini “dicurigai” menyimpan cadangan minyak dan gas bumi (migas) dalam jumlah yang signifikan.
Dari Senayan Anggota DPR asal Dapil Aceh I, Nazaruddin Dek Gam meminta empat pulau yang kini masuk wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dikembalikan ke Aceh.

Dek Gam juga mengkritik keputusan Kementerian dalam Negeri (Kemendagri) yang memasukkan empat pulau tersebut kini masuk wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

“Saya minta Mendagri untuk segera mengembalikan pulau tersebut ke Provinsi Aceh,” kata Dek Gam saat dihubungi, Rabu (11/6).

Begitu potensi itu muncul ke permukaan, ada muncullah aroma sengketa. Apa yang sebenarnya sedang kita saksikan di sini bukan sekadar perebutan wilayah, tetapi drama klasik Indonesia tentang “politik sumber daya alam”, di mana peta bisa berubah tergantung pada isi perut bumi di bawahnya.
Anggota DPR Ingatkan Mendagri Tito: Jangan Buat Persoalan di Aceh, Nanti  Timbul Gejolak - merdeka.com
Politik Migas: Nafsu vs Nasionalisme
Ada dugaan kata “cadangan migas” masuk ke ruang diskusi, yang hadir bukan hanya pejabat daerah, tetapi juga elit ekonomi, investor, bahkan operator politik. Pulau-pulau itu, yang sebelumnya mungkin dianggap remah geografis, mendadak menjadi pusat strategi ekonomi dan politik regional.
Sumatera Utara, dengan pelabuhan Belawan yang sedang bangkit, tentu sangat berkepentingan untuk menambah wilayah pengelolaan lautnya. Sementara Aceh, sebagai daerah otonomi khusus yang punya sejarah panjang perjuangan politik dan kekayaan alam yang kompleks, tentu tidak ingin kehilangan satu jengkal pun dari tanah (atau laut) yang bisa memperkuat bargaining position-nya di mata Jakarta maupun dunia.
Tapi mari kita jujur: yang diperebutkan bukan semata pulau—melainkan hak kelola, hak eksplorasi, dan pada akhirnya hak atas uang. Uang yang keluar dari perut bumi dalam bentuk migas, yang akan menjadi DBH (Dana Bagi Hasil) ke provinsi yang memenangkan klaim.
Ini adalah politik teritorial yang dibungkus dalam selimut legal formal dan geoekonomi. Batas Administratif atau Nafsu Administratif?
Apakah batas wilayah laut antara Aceh dan Sumatera Utara sudah jelas? Di atas kertas, mungkin. Tapi seperti banyak wilayah pesisir dan pulau kecil lainnya di Indonesia, batas administratif seringkali mengambang—bahkan diperdebatkan—karena belum adanya pemetaan dan pengesahan menyeluruh dari Badan Informasi Geospasial (BIG) atau kementerian terkait.
Dalam kekosongan itu, muncullah ruang spekulatif yang dimanfaatkan berbagai pihak. Masalahnya menjadi pelik ketika pemerintah daerah menggunakan nomenklatur politik untuk merebut wilayah: atas nama pelayanan publik, atas nama sejarah budaya, atau bahkan atas nama perlindungan nelayan.
Padahal, kalau jujur-jujuran, ini adalah perebutan ladang emas hitam yang bisa menambah angka APBD secara drastis. Pulau-Pulau yang Diabaikan Kini Jadi Rebutan Ironisnya, pulau-pulau yang kini diperebutkan itu hampir tidak pernah disebut dalam perencanaan pembangunan jangka panjang provinsi masing-masing.
Tidak pernah disebut sebagai titik sentral pariwisata, tidak dimasukkan dalam zonasi konservasi, bahkan tidak dijaga dari sisi ekologi dan budaya. Tapi begitu ada data seismik yang menunjukkan ada potensi migas, semua tiba-tiba ingin menjadi “pemilik sah”.
Pulau-pulau itu tidak punya suara. Tak ada kepala desa, tak ada penduduk tetap. Mereka hanya menjadi objek, bukan subjek. Dan karena itu pula, pulau-pulau itu menjadi sangat rentan dijadikan komoditas politik dan ekonomi. Indonesia Butuh Peta, Bukan Perang Antar daerah Perebutan wilayah antardaerah ini adalah alarm bagi pemerintah pusat. Jika dibiarkan, akan membuka kotak pandora konflik serupa di wilayah lain: Papua, Maluku, Kalimantan Utara, dan sebagainya.
Apalagi, jika kepentingan sumber daya ikut bermain. Apa solusinya bukan sekadar pembatasan wilayah administratif, tapi harus ada: 1. Pemetaan ulang nasional berbasis geoekonomi dan geostrategi. 2. Desentralisasi pengelolaan SDA (sumber daya alam) yang adil dan transparan. 3. Regulasi eksplorasi migas yang melibatkan pemerintah pusat sebagai penyeimbang. 4. Kebijakan pulau kecil sebagai kawasan konservasi, bukan eksploitasi brutal.
Kalau negara tidak hadir dalam konflik ini, maka yang akan menang bukanlah hukum, tapi logika siapa yang paling kuat melobi, atau siapa yang paling cepat merangkul investor.
Akhir bahasa seperti ini: Jangan Gadaikan Pulau demi Kepentingan Elit. Pulau-pulau ini adalah bagian dari tubuh Indonesia. Jangan jadikan mereka korban pertarungan dua provinsi yang lapar fiskal. Jangan biarkan mereka diserahkan kepada kontraktor migas tanpa ada rencana perlindungan ekologi.
Dan yang paling penting, jangan ada satu jengkal pun dari republik ini yang jatuh ke tangan nafsu korporasi atau ego sektoral. Negara harus hadir. Bukan untuk berpihak, tapi untuk mengingatkan: bahwa pulau bukan sekadar titik di peta—mereka adalah bagian dari martabat kita sebagai bangsa maritim. Indonesia Baiklah terus dan damai…!!! (jaksat-ed/ame)