SKEMA
(Sketsa Masyarakat)

EMPAT PULAU SIAPA PUNYA: ACEH ATAU SUMATRA UTARA?

By Akmal Nasery Basral

1/
Satu hari di paruh kedua tahun 2012 Presiden Direktur PT Arun Lhokseumawe, Iqbal Hasan Saleh, menceritakan kepada saya sebuah kelakar yang diceritakan ayahnya saat dia kecil. “Kau tahu, Bal, mengapa orang Aceh suka perang?” ujarnya mengulang pertanyaan ayahanda.

“Tidak tahu, Pak?” jawab Iqbal polos. “Kenapa?”

“Karena orang Aceh melihat perang seperti orang lapar melihat kenduri,” ungkap Iqbal tertawa lebar mengulangi jawaban ayahnya, membuat gelak saya pecah, ikut tertular. Namanya saja kelakar. Separuh benar, separuhnya lagi wallahu a’lam.

Ketika itu saya sedang riset tentang Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh. Ayah Iqbal, Letnan Kolonel (Purn.) Hasan Saleh, adalah mantan Panglima Militer DI/TII (1953-1959). Awalnya sebagai tangan kanan sekaligus murid utama tokoh karismatik Teungku Daud Beureueh, sebelum mereka pecah kongsi dan bersimpang jalan.

Hasan kembali ke pangkuan Republik Indonesia, sedangkan Daud Beureueh melanjutkan angkat senjata dari kawasan pegunungan yang sulit dijangkau tentara pemerintah.  Beliau baru menyerah tahun 1962 melalui musyarawarah dan surat-menyurat intensif dengan Kolonel M. Jassin, Panglima Kodam I Iskandar Muda, yang memperlakukan Abu Beureueh penuh hormat seakan ayahnya sendiri.

Salah satu faktor penyebab meletusnya pemberontakan DI/TII Aceh adalah penurunan status Aceh dari provinsi otonom menjadi karesidenan setelah terbitnya PP No. 21/1950 era pemerintahan Perdana Menteri Mohamad Natsir. Dengan berlakunya PP itu maka sejak 20 Agustus 1950 Aceh menjadi bagian Provinsi Sumatra Utara.

Tentu saja membuat murka rakyat Aceh yang merasa punya sejarahnya sendiri. Apalagi mereka berperan besar di awal kemerdekaan Republik Indonesia, antara lain, dengan menyumbang pesawat Dakota RI 001-Seulawah dari hasil iuran sukarela rakyat. Pesawat inilah yang menjadi cikal bakal maskapai penerbangan komersial di tanah air yakni Indonesia Airways sebelum bersalin nama menjadi Garuda Indonesia.

Perasaan disepelekan dan martabat dinistakan membuat Abu Beureueh sebagai Ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) menyerukan perlawanan terhadap Jakarta yang dinilai sewenang-wenang. Rakyat Aceh tak pernah punya masalah dengan rakyat Sumatra Utara. Bahkan tak sedikit dari mereka yang masih terpilin tali persaudaraan di daerah perbatasan kedua provinsi.

Namun dijadikan bagian dari provinsi Sumatra Utara adalah hal yang tak pernah terlintas dalam pikiran, bahkan dalam mimpi terliar. Apakah Jakarta lupa bahwa rakyat Aceh bertempur melawan Belanda dalam Perang Aceh yang heroik selama 31 tahun (1873-1904)—salah satu perang terlama—ketika wilayah lain Nusantara memilih membungkuk pasrah di kaki penjajah.

Hasil riset itu saya tulis dalam novel sejarah berjudul Napoleon dari Tanah Rencong (Gramedia Pustaka Utama, 2013). Saya teringat pada spirit perjuangan rakyat Aceh ini sehubungan kontroversi status empat pulau (Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang) yang sebelumnya dianggap turun temurun wilayah Kabupaten Aceh Singkil namun kini diputuskan Kementerian Dalam Negeri sebagai wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.

“Saya menduga adanya perubahan administrasi wilayah empat pulau ini berkaitan dengan adanya kandungan migas,” ujar anggota DPR RI Muslim Ayub. “Ada rencana investasi besar triliunan rupiah dari Uni Emirat Arab di empat pulau tersebut,” lanjut Ketua Dewan Pertimbangan Wilayah DPW Partai Nasdem Aceh periode 2024-2029 itu seperti dikutip CNN Indonesia (11/6).

Namun menurut Mendagri Tito Karnavian, sengketa empat pulau itu sudah terjadi sejak 1928. “Keputusan administrasi Kemendagri itu, sudah didasarkan pada kajian yang melibatkan sejumlah instansi,” ujarnya mengenai Kepmendagri No. 300.2.2-2138/2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau yang ditetapkan pada 25 April 2025 dan kini menjadi pemantik utama kontroversi.

Jika sengketa sudah berlangsung sejak 1928 seperti penjelasan Mendagri, menjadi menarik karena peta Jawatan Topografi (Jantop) TNI AD pada 1978 yang menjadi acuan batas daerah menegaskan bahwa garis batas antara Aceh dengan Sumatra Utara berada di atas keempat pulau yang menunjukkan pulau-pulau itu masuk ke dalam wilayah Aceh.

Sementara dari aktivitas pembangunan fisik, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil yang aktif membangun fasilitas di keempat pulau dengan dana APBD mereka, sedangkan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara dan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah tidak melakukan pembangunan apapun, sehingga tidak terjadi overlapping anggaran pembangunan.

2/
Dengan keterbatasan pengetahuan dan wawasan tentang administrasi wilayah, saya tak ingin masuk lebih jauh dalam kontroversi yang sedang menguar di pentas nasional ini. Namun sependek pemahaman saya tentang karakter masyarakat Aceh dan Sumatra Utara, mereka adalah warga yang memiliki kemampuan musyarawah tinggi untuk mencari solusi dari masalah yang sedang dihadapi. Tak terkecuali masyarakat Kabupaten Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah yang mengapit langsung keempat pulau yang sedang disengketakan.

Transparansi juga menjadi faktor penentu berikutnya. Sinyalemen Muslim Ayub sebagai anggota DPR RI rasanya tak mungkin sembarangan dan asal ucap. Pastilah ada sumber api jika tercipta asap.

Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Gubernur Sumatra Utara Bobby Nasution sebagai eksekutif tertinggi kedua provinsi juga harus menempatkan kepentingan rakyat keempat pulau dan historisitas sejarah mereka–yang bukan baru tercipta 10-20 tahun terakhir—sebagai pertimbangan utama.

Rakyat harus dilibatkan dalam proses penentuan wilayah karena mereka makhluk hidup yang sudah punya leluhur turun temurun di keempat pulau. Pendapat mereka harus serius didengar, bukan hanya hasil kerja kompas, GPS, Theodolite, Total Station, EDM ( Electronic Distance Measurement) dan beragam alat ukur topografi lainnya yang beroperasi di bawah kendali manusia.

Dan tentunya Mendagri Tito Karnavian sebagai “Ayah Geografis” bagi Aceh dan Sumatra Utara juga harus bersikap hati-hati dan supercermat dalam masalah ini. Ibarat mengangkat benang dari tepung, bagaimana caranya benang bisa diambil namun tepung tidak koyak berantakan. Sebab, sejarah bukan hanya bagian masa lalu yang statis dan mendekam di pojok museum ingatan kolektif bangsa.

“Siapa yang tak bisa mengingat masa lalu,” Filsuf George Santayana mengingatkan, “akan dikutuk untuk mengulanginya lagi.”

Jakarta, 12 Juni 2025

Penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional. Tanggapan atas tulisan ini agar dikirim ke e-mail: [email protected].