EDITORIAL JAKARTASATU: Kuota Internet Hangus: Kejahatan Ekonomi Digital yang RAIBKAN Rp613 Triliun Uang Rakyat, Uang Sah Tapi Sesat dan Jahat
Selama lebih dari satu dekade, rakyat Indonesia membeli kuota internet. Mereka membayar tunai, transfer, potong pulsa, atau cicil paket. Tapi satu hal yang selalu terjadi: kuota hangus. Tidak dipakai, tidak diwariskan, tidak bisa diklaim ulang. Lenyap.
Dan sekarang kita tahu, berdasarkan laporan Indonesia Audit Watch (IAW), bahwa dari praktik penghangusan kuota ini, uang rakyat yang raib sejak tahun 2010 diperkirakan mencapai Rp613 triliun. Rp613 triliun. Bukan angka khayalan. Itu setara 10 kali APBD DKI Jakarta. Cukup untuk membangun sekolah dan rumah sakit di tiap kabupaten. Cukup untuk memperluas jaringan internet gratis nasional.
Tapi semua itu lenyap begitu saja. Dan lebih parah lagi: dianggap sah. Legal, Tapi Jahat Praktik ini berlangsung di depan mata kita. Operator berdalih bahwa kuota berbasis masa aktif. Mereka menyebut spektrum frekuensi sebagai sumber terbatas, dan pemakaian data sebagai sewa waktu, bukan hak tetap. Namun logika ini lemah dan manipulatif. Mengapa token listrik tak hangus? Mengapa saldo e-money tetap utuh meski berbulan-bulan? Mengapa kuota—yang dibayar penuh—harus lenyap hanya karena “hari sudah berganti”? Jawaban sebenarnya: karena sistem dibuat untuk memaksa orang membeli lagi. Ini adalah bentuk perampasan nilai ekonomi rakyat secara legal, sistemik, dan masif.
Indonesian Audit Watch (IAW) kembali melontarkan kritik tajam terhadap praktik operator telekomunikasi di Indonesia yang dianggap merugikan publik. Salah satu isu yang disorot adalah hilangnya kuota internet (data) pelanggan karena masa aktif berakhir, padahal kuota tersebut belum digunakan. Menurut IAW, praktik ini adalah bentuk kejahatan ekonomi sistemik yang telah berlangsung selama lebih dari satu dekade dan didiamkan oleh negara.
“Ini bukan masalah teknis, tapi skema penghilangan nilai ekonomi rakyat secara sistemik,” tegas Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri IAW kepada wartawan, Ahad (15/6/2025).
Dan itulah sebabnya kami sebut ini sebagai “uang syah tapi sesat dan jahat.” Di Dunia, Tidak Begini Negara-negara maju tidak membiarkan ini terjadi: • T-Mobile AS dan AT&T memperkenalkan sistem “Data Rollover” — kuota bulan ini pindah ke bulan depan. Di Eropa, negara seperti Jerman dan Prancis mewajibkan mekanisme carry-over demi melindungi konsumen. Di Jepang, kuota bisa ditransfer ke keluarga, dikompensasi, atau ditabung. Indonesia? Tidak. Di sini, kuota hangus adalah “norma.” Tidak ada regulasi perlindungan. Tidak ada mekanisme ganti rugi. Negara diam, dan diam berarti membiarkan.
Negara Wajib Bertanggung Jawab
Kami IAW menegaskan: Negara tidak boleh cuci tangan. Kalau Kominfo tahu tapi tidak bertindak, itu kelalaian struktural. Kalau DPR tahu tapi bungkam, itu pengkhianatan mandat.
Kalau BPK dan PPATK tidak mengaudit praktik ini, itu pembiaran terhadap skema kejahatan ekonomi digital. Negara seharusnya melindungi rakyat, bukan hanya mengatur korporasi.
Tuntutan Publik:
Tegakkan Keadilan Digital Kami, dan jutaan rakyat yang dirugikan secara diam-diam, menuntut:
Audit nasional menyeluruh terhadap praktik kuota hangus sejak 2010.
UU Perlindungan Konsumen Digital yang melarang penghangusan kuota tanpa kompensasi.
Pembentukan Pansus DPR untuk menyelidiki kerugian Rp613 triliun dan kemungkinan praktik kartel operator.
Kompensasi atau ganti rugi langsung kepada konsumen dalam bentuk kuota pengganti atau potongan langganan.
Class action publik terhadap operator dan regulator yang terlibat. Bukan Soal Kuota Saja Ini bukan hanya tentang data internet.
Ini adalah soal martabat ekonomi digital rakyat. Soal keadilan. Soal akal sehat dalam dunia yang makin digital. Kuota yang dibeli dan hilang bukan cuma paket data—tapi simbol dari betapa murahnya nilai rakyat di mata sistem.
Rp613 triliun bukan hanya statistik. Itu adalah bentuk nyata dari kapitalisme digital predator yang dilegalkan.
Apakah Kita Masih Berdaulat secara Digital?
Praktik ini mengajarkan kita bahwa tidak semua yang sah itu adil. Tidak semua yang legal itu benar. Dan di tengah sistem yang menyamakan rakyat dengan objek transaksi, satu hal yang harus terus kita serukan: Ini uang sah, tapi sesat dan jahat. Dan negara harus bertanggung jawab.
Redaksi Jakartasatu (ED/AE/JAKSAT)
15 Juni 2025