Aendra MEDITA /copyright JAKSAT

#NGOPIPAGI: JANGAN BOHONG.

Kalimat diatas sanya mulia…JANGAN BOHONG. Namun hari ini, ada yang mengusik diam-diam. Ada bayang-bayang kelam yang menari di panggung itu. Mereka bukan musuh dari luar. Justru merekalah yang berdiri di balik mikrofon-mikrofon megah pegaang kendali, duduk di kursi empuk pengambilan kebijakan, berseragam lengkap seolah patriot sejati.

Tapi di balik topeng nasionalisme itu, ada taring kepentingan yang siap mencabik Indonesia menjadi serpihan demi serpihan demi kuasa. Mereka tidak ingin Indonesia bersatu. Pulau ditarik-tarik…Sebab bagi mereka, persatuan rakyat adalah penghalang bagi rakusnya ambisi. Mereka hidup dari konflik, kenyang dari adu domba, dan merasa aman jika sesama anak bangsa saling curiga, saling menyalahkan, saling menjauh. Mereka memecah dengan isu agama, mengadu lewat ras, dan menunggangi ideologi demi menguasai negeri ini secara diam-diam. Tapi, Indonesia tidak mudah dipecah.

Di hati rakyat kecil—petani di kaki gunung, nelayan di tepian laut, guru di pelosok desa—masih tersimpan harapan akan negeri yang adil dan utuh. Mereka mungkin diam, tetapi tidak tunduk. Mereka tidak teriak, tetapi sadar. Bahwa Indonesia adalah warisan untuk anak cucu, bukan properti elite yang bisa diperjualbelikan.

Kebohongan adalah Awal Kehancuran: Dari Propaganda ke Pengkhianatan Bangsa Hmmm… Bohong itu tak pernah ringan. Sekali berbohong, akan dibutuhkan kebohongan lain untuk menutupinya. Dan ketika kebohongan menjadi sistematis—dibungkus rapi oleh kekuasaan, dikemas oleh humas, disebar oleh influencer, lalu dibenarkan oleh buzzer—maka jangan heran jika suatu hari, negeri ini pun ambruk tanpa aba-aba.

Kita sedang berada di zaman yang mengaburkan antara realitas dan narasi. Zaman ketika yang palsu tampak benar, dan yang benar malah dicap pengganggu stabilitas. Kebohongan hari ini bukan lagi sebatas tipu-tipu kecil, tapi sudah menjelma sebagai strategi kekuasaan, alat kontrol, dan kendaraan manipulasi.

Kebohongan Adalah Virus yang Menular Kebohongan politik, terutama jika diulang dan dibungkus narasi besar, akan menjadi semacam “agama baru” bagi para pengikut fanatik. Mereka bukan sekadar percaya, tapi siap mati demi dusta itu. Inilah titik paling berbahaya dalam sejarah peradaban manusia: ketika kebenaran menjadi relatif, dan dusta menjadi identitas.

Joseph Goebbels—arsitek propaganda Nazi—pernah bilang: “Berbohonglah terus-menerus, dan pada akhirnya orang akan mempercayainya.” Goebbels bukan sekadar bicara soal propaganda. Ia menyampaikan sesuatu yang kini terbukti di zaman kita: dusta bisa disulap jadi dogma, dan yang meragukannya bisa dianggap pengkhianat. Bohong dalam Skala Negara: Jejak yang Menghancurkan Lihatlah jejak sejarah Uni Soviet tidak runtuh karena perang, tapi karena pemerintah menyembunyikan krisis ekonomi, menutupi penderitaan rakyat, dan menciptakan narasi semu tentang kemajuan.

Kasus Watergate menunjukkan bagaimana satu kebohongan bisa menghancurkan integritas seorang presiden AS. Nixon terpaksa mundur bukan karena aksi, tapi karena tipu daya dan kebohongan.

Tahun 2003 Irak, jutaan nyawa melayang atas dasar kebohongan soal senjata pemusnah massal. Sampai hari ini, tidak pernah ditemukan. Di Indonesia, kita tidak kekurangan contoh. Krisis 1998 diperparah oleh informasi ekonomi yang disembunyikan. Pemerintah kala itu menyebut ekonomi kuat, padahal rapuh. Ketika kenyataan muncul, semuanya terlambat. Mata uang ambruk, pasar rontok, dan rakyat jadi korban. Bangsa yang Membiarkan Kebohongan Adalah Bangsa yang Membiarkan Diri Dihancurkan Kebohongan bukan hanya persoalan etika. Ia adalah soal eksistensi bangsa.

Bangsa yang membiarkan dusta tumbuh subur seperti gulma dalam ladang kepercayaan, cepat atau lambat akan menyaksikan kehancuran fondasi moral, sosial, hingga politiknya.

Karena kebenaran—meski pahit—adalah satu-satunya batu yang kokoh bagi bangunan negara. Jika pemimpin hari ini mewariskan utang, bukan hanya angka yang diwariskan, tapi juga ketidakjujuran yang bisa menghantui pemimpin berikutnya. Pembangunan dengan narasi indah tapi ditopang utang raksasa tanpa transparansi akan jadi beban generasi. Masjid pun bisa jadi simbol ironi: megah dari luar, tapi dibangun dari dana yang tak jelas, dan akhirnya viral karena gagal bayar.

Kebenaran Tidak Butuh Sponsor

Kebenaran itu seperti kopi. Ia tidak manis sendiri. Ia pahit, tapi jujur. Tidak mengada-ada. Saya baru saja menikmati Kopi Buhun (Boehoen) dari Rancakalong, Sumedang. Kopi yang alami, dikeringkan dalam bentuk buahnya. Tak ada zat tambahan, tak ada manipulasi. Setiap seduhan adalah kejujuran murni dari tanah, petani, dan proses yang benar.

Bayangkan jika pejabat bisa belajar dari secangkir kopi. Tidak perlu manis buatan. Cukup jujur. Kopi tidak bisa bohong. Tapi manusia—terutama yang duduk di kekuasaan—bisa. Mari Berpikir Kembali Kita harus waspada. Jangan sampai kita hidup dalam masyarakat yang mulai menganggap dusta sebagai ‘strategi’, kebohongan sebagai ‘narasi politik’, dan penipuan publik sebagai ‘kebutuhan stabilitas’.

Jika “Separuh kebenaran adalah kebohongan paling berbahaya.” – Ungkapan lama yang kian terasa relevan hari ini. Kalau hari ini kita diam melihat kebohongan, maka jangan salahkan sejarah jika esok mencatat kita sebagai generasi pengecut yang membiarkan bangsa ini tenggelam dalam narasi palsu. Maka mari kita mulai dari secangkir kopi. Yang jujur. Yang tak pernah bohong. #NgopiPagi Tabik…

Catatan BDG – SUMEDANG

*Aendra Medita