JANGAN BERKHIANAT LAGI KEPADA ACEH

Oleh: Radhar Tribaskoro

Hubungan antara Aceh dan Republik Indonesia adalah sejarah panjang tentang harapan, pengkhianatan, dan perjuangan. Setelah pemberontakan Darul Islam yang dipimpin Teungku Daud Beureueh mereda pada akhir 1950-an, Aceh kembali bergolak pada era 1976–2005 lewat pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Perang panjang ini memakan puluhan ribu korban jiwa dan baru berhenti setelah tercapainya Perjanjian Helsinki pada tahun 2005—sebuah kesepakatan damai yang menjanjikan pengakuan atas kekhususan Aceh dalam kerangka Republik.

Namun, luka sejarah itu belum sembuh benar. Dan kini, ada tanda-tanda bahwa luka itu bisa kembali berdarah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri yang menetapkan empat pulau milik Aceh—Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang—sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara telah mengejutkan publik. Tanpa konsultasi dengan Pemerintah Aceh, tanpa dialog publik, dan tanpa penjelasan transparan, keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar: ada apa di balik langkah administratif yang tergesa-gesa ini?

Banyak pihak menduga bahwa wilayah di sekitar empat pulau tersebut memiliki potensi sumber daya energi besar. Jika benar, maka publik Aceh patut curiga bahwa ini bukan sekadar persoalan batas wilayah, melainkan langkah sistematis untuk mengalihkan kontrol atas sumber daya alam.

Sejarah mencatat, Aceh pernah dikhianati oleh keputusan sepihak Jakarta. Pada tahun 1950, janji menjadikan Aceh sebagai Daerah Istimewa diabaikan begitu saja dengan meleburkan wilayah ini ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Pengkhianatan itu memicu pemberontakan bersenjata, yang kemudian hanya bisa diredakan dengan pengakuan kembali terhadap keistimewaan Aceh.

Kini, narasi yang sama tampaknya berulang. Dalam situasi damai, Aceh kembali dirugikan secara diam-diam. Sementara Perjanjian Helsinki menjanjikan kedaulatan Aceh dalam urusan pemerintahan, termasuk pengelolaan wilayah dan sumber daya alam, keputusan Mendagri ini tampak mengabaikan semangat kesepakatan itu.

Aceh bukan wilayah kosong. Ia adalah tanah yang telah berkorban demi republik. Ia adalah rumah bagi rakyat yang telah kehilangan banyak akibat konflik yang dipicu oleh ketidakadilan dan pengingkaran janji. Jika republik ingin mempertahankan perdamaian, maka jangan bermain-main lagi dengan kepercayaan Aceh.

Jangan berkhianat lagi.===

Cimahi, 16 Juni 2025