
Editorial Jakartasatu: Wilmar Rp11,8 Triliun dan yang Disita — Antara Kapok dan Kalkulasi
Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita uang dalam kasus tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas izin ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya pada industri kelapa sawit tahun 2022. Uang tersebut disita dari terdakwa 5 korporasi yang tergabung dalam Wilmar Grup. Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Sutikno menjelaskan, kelima terdakwa tersebut adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wimar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.
Para terdakwa korporasi tersebut masing-masing didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Jo Pasal 18 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Seperti yang telah diketahui bahwa 5 terdakwa korporasi tersebut di pengadilan tindak pidana korupsi pada pengadilan negeri Jakarta Pusat telah diputus oleh hakim dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum. “Sehingga penuntut umum melakukan upaya hukum kasasi yang hingga saat ini perkaranya masih ada dalam tahap pemeriksaan kasasi,” ujar Sutikno dalam konferensi pers, Selasa (17/6).
Wilmar Group dan Rp11,8 Triliun yang Disita BIsa jadi — Antara Kapok dan Kalkulasi.
Ini langkah Kejaksaan Agung menyita Rp11,8 triliun dari Wilmar Group adalah capaian hukum yang patut diapresiasi. Angka itu bukan sekadar nominal. Itu adalah simbol: betapa besar keuntungan yang bisa dikeruk korporasi dari celah-celah hukum, dan betapa mahal harga yang harus dibayar ketika negara mulai benar-benar menagih akuntabilitas. Namun, mari kita jujur.
Apakah Wilmar benar-benar kapok? Belum tentu.
Mereka menyerahkan uang itu bukan karena kesadaran moral, tetapi karena tekanan hukum dan reputasi. Ini adalah manuver hukum yang sangat korporat: membayar lebih awal untuk mencegah kerugian lebih besar di kemudian hari. Uang itu diserahkan sebagai “jaminan”, bukan “pengakuan bersalah”. Ini lebih mirip upaya mitigasi risiko reputasi dan kerugian bisnis ketimbang bentuk pertobatan.
Dalam praktiknya, hukum di Indonesia masih terlalu sering dipahami sebagai arena negosiasi. Bukan ruang keadilan. Uang yang besar bisa masuk dalam format penyelesaian, tetapi ke mana para pelakunya?
Apakah para eksekutif yang menandatangani keputusan ekspor bermasalah itu sudah dibui? Apakah pejabat negara yang memberi karpet merah sudah ditindak?
Kalau jawabannya “belum”, maka kita sedang menyaksikan sandiwara biasa. Editorial kali ini tidak sedang menuduh, tapi bertanya—dengan tegas: jika korporasi besar cukup menyerahkan uang untuk ‘beres’, apakah ini bentuk keadilan atau bentuk kompromi?
Uang Rp11,8 triliun adalah jumlah fantastis. Melalui keterangan pers yang digelar Kejagung, Selasa (17/6), dijelaskan bahwa berdasarkan hasil audit BPKP dan kajian dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, total kerugian negara mencapai Rp11.880.351.802.619,00. Kerugian itu mencakup kerugian keuangan negara, keuntungan ilegal, dan kerugian perekonomian nasional.
Berikut Sutikno merinci nilai kerugian dari masing-masing korporasi sebagai berikut:
PT Multimas Nabati Asahan : Rp 3.997.042.917.832,42
PT Multi Nabati Sulawesi : Rp 39.756.429.964,94
PT Sinar Alam Permai : Rp 483.961.045.417,33
PT Wilmar Bioenergi Indonesia : Rp 57.303.038.077,64
PT Wilmar Nabati Indonesia : Rp 7.302.288.371.326,78
Pada 23 dan 26 Mei 2025, seluruh terdakwa korporasi secara resmi mengembalikan dana sesuai total kerugian negara tersebut.
“Uang tersebut sekarang kami simpan di rekening penampungan lain (RPL) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus pada Bank Mandiri,” terang Sutikno.
Untuk kepentingan kasasi, jaksa penuntut umum (JPU) kemudian menyita seluruh dana tersebut dan memasukkannya dalam memori tambahan kasasi. Langkah ini dilakukan agar Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan dana tersebut sebagai kompensasi atas kerugian negara.
Tapi jika setelah itu semua orang kembali ke meja bisnis seolah tak ada yang terjadi, maka uang itu hanyalah ongkos tenang—bukan efek jera. Kita membutuhkan sistem hukum yang tidak hanya menyita, tetapi juga membongkar jaringan, mengadili pelaku, dan mengoreksi sistem.
Tanpa itu, semua hanya pencitraan. Wilmar mungkin saja tidak akan mengulangi kasus ini dengan cara yang sama. Tapi tanpa pembenahan sistemik, akan selalu ada pintu lain—dan aktor lain—yang siap mengulang pola.
Dan kita, sebagai publik, harus terus membuka mata. Bukan begitu? (ed/jaksat-ata)