Figur NASIONAL : MUZAKIR MANAF: DARI HUTAN PERJUANGAN KE ARENA POLITIK, SOSOK BERANI YANG TAK MENYERAH
JAKARTASATU.COM — Nama MUZAKIR Manaf bukan sekadar bunyi yang akrab di telinga masyarakat Aceh. Ia adalah gema dari sejarah panjang perjuangan, keteguhan, dan keberanian. Di tengah pusaran zaman yang terus berubah, Zakir tetap berdiri tegak sebagai simbol keteguhan tekad—dari hutan belantara konflik, hingga gelanggang politik yang seringkali lebih kejam dari medan perang.Saat ramai bahwa Sumut akan mengambil 4 pulau itu dan bikin gaduh bangsa ini, akhirnya Presiden ke 8 turun gunung dan akhirnya Presiden Prabowo Subianto memutuskan empat pulau itu Aceh yang haknya milik Aceh.
Lalu sosok bernama lengkap
Muzakir Abdul Karim atau lebih dikenal kini Muzakir Manaf yang memimpin Aceh adalah yang pemberani sosok yang Lahir dan besar di Aceh Besar, Muzakir Manaf menghirup udara perjuangan sejak muda. Ia bukan sekadar bagian dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ia adalah panglima lapangan, komandan yang dihormati dan ditakuti.
Bagi para kombatan, ia bukan hanya pemimpin, tapi simbol keberanian yang tak gentar menghadapi peluru maupun pengkhianatan. Ketika dunia berubah pasca penandatanganan MoU Helsinki 2005, Zakir tak lari dari tanggung jawab sejarah. Ia memegang komando di wilayah strategis dan memiliki pengaruh kuat di kalangan pasukan. Keberaniannya di medan konflik menjadikannya salah satu tokoh yang dihormati, tidak hanya oleh sesama kombatan, tetapi juga oleh masyarakat umum Aceh. Ia tahu bahwa senjata harus ditukar dengan suara, dan hutan diganti dengan meja politik.
Maka ia memimpin Komite Peralihan Aceh (KPA)—sebuah wadah transisi bagi eks kombatan menuju peradaban sipil. Panggung Politik: Ujian Baru Seorang Pejuang Zakir Manaf tak hanya bicara tentang perubahan, ia masuk ke gelanggang demokrasi, mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh pada Pilkada 2017.
Langkah itu bukan tentang kekuasaan, melainkan tentang membuktikan bahwa pejuang sejati tetap berani bahkan ketika alat perjuangan berubah bentuk. Walau tidak menang, keikutsertaannya adalah pesan keras bahwa politik harus berani, jujur, dan berpihak. Bahwa pemimpin harus turun langsung, bukan bersembunyi di balik meja atau basa-basi kekuasaan.
Komitmen yang Tak Lekang Waktu Hingga kini, Zakir tetap menjadi suara keras yang mengingatkan Jakarta agar jangan main-main dengan MoU Helsinki dan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Ia lantang berkata: “Damai itu bukan basa-basi. Janji harus ditepati.” Baginya, perjuangan Aceh bukan selesai karena senjata disimpan. Perjuangan baru justru dimulai saat rakyat menuntut keadilan yang nyata: pendidikan yang layak, ekonomi yang adil, dan martabat Aceh yang tidak dilucuti dari identitasnya.
Dekat dengan Akar, Jauh dari Kemunafikan Muzakir Manaf bukan politisi biasa. Ia tidak suka pencitraan, tidak hidup dalam glamor kekuasaan. Ia lebih sering ditemui bersama rakyat, dengan bahasa yang apa adanya.
Bagi rakyat,
Muzakir adalah “abang”, “komandan”, atau “teungku”—bukan karena jabatan, tapi karena kehadiran yang nyata.
Dalam politik yang makin banyak dipenuhi topeng dan tipu daya, sosok seperti Zakir Manaf adalah kelangkaan. Ia bukan sempurna, tapi ia konsisten. Dan di zaman penuh kompromi, konsistensi adalah keberanian yang langka.
