Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid bersama Presiden RI Prabowo Subianto didampingi Sekretaris Kabinet Teeddy Indra Wijaya. Di sela lawatannya di Rusia mendampingi Presiden Prabowo Subianto, Kamis (19/6/2025) Meutya mengatakan data center adalah bagian dari tulang punggung transformasi digital Indonesia. Foto: Dok Kemkomdigi
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid bersama Presiden RI Prabowo Subianto didampingi Sekretaris Kabinet Teeddy Indra Wijaya. Di sela lawatannya di Rusia mendampingi Presiden Prabowo Subianto, Kamis (19/6/2025) Meutya mengatakan data center adalah bagian dari tulang punggung transformasi digital Indonesia. Foto: Dok Kemkomdigi

JAKARTASATU.COM – Di atas tanah seluas dua belas hektare di Cikarang, Jawa Barat, bukan padi yang bakal tumbuh. Bukan pula beton-beton industri manufaktur biasa yang menjulang. Tapi ribuan server bertenaga listrik tinggi, berdenyut tanpa jeda, menyimpan miliaran bit informasi, akan menyulap kawasan ini menjadi jantung digital baru Indonesia.

Investasi senilai dua koma tiga miliar dolar AS atau sekitar tiga puluh tujuh triliun rupiah dari EDGNEX, sebuah perusahaan infrastruktur digital asal Dubai, bukan hanya soal angka mencengangkan. Ini tentang kepercayaan. Tentang bagaimana Indonesia, dalam hitungan tahun, bertransformasi dari konsumen teknologi menjadi rumah bagi ekosistem digital yang seksi di mata dunia.

Meutya Hafid, Menteri Komunikasi dan Digital, berdiri di hadapan media dengan mata yang berbinar. Di sela lawatannya di Rusia mendampingi Presiden Prabowo Subianto, ia menyampaikan kabar gembira itu. “Data center adalah bagian dari tulang punggung transformasi digital Indonesia. Kehadiran EDGNEX kami pandang sebagai sinyal positif terhadap meningkatnya kepercayaan investor global terhadap ekosistem digital di tanah air,” ujarnya mantap, Kamis 19 Juni 2025.

Pembangunan pusat data jumbo itu tidak terjadi di ruang kosong. Komdigi mencatat kapasitas pusat data nasional yang sebelumnya berada di angka 180 megawatt kini telah melonjak ke 290 MW. Bandingkan dengan Malaysia yang sudah berada di kisaran 400 MW. Tapi jangan salah, dengan lahan-lahan yang kini siap dibangun, Indonesia diproyeksikan melesat hingga 900 MW di akhir 2025.

Pertanyaannya bukan lagi apakah kita bisa bersaing. Tapi seberapa cepat kita bisa mengejar.

Jika transformasi digital adalah kereta cepat, maka pusat data adalah rel yang menopangnya. Tanpa itu, aplikasi hanya jadi animasi, dan AI hanya ilusi. Dengan proyeksi kebutuhan nasional yang mencapai 1,5 hingga 2 gigawatt dalam dua tahun mendatang, Indonesia kini berdiri di simpang jalan antara menjadi pasar digital terbesar atau menjadi pusat digital regional yang strategis.

EDGNEX bukan satu-satunya pemain yang percaya akan potensi ini. Sebelumnya, DCI Indonesia, sebuah perusahaan lokal, telah lebih dulu meresmikan pusat data berbasis kecerdasan buatan tercanggih se-Asia Tenggara di Cibitung. Meutya Hafid menyebut ini sebagai bukti bahwa pemain domestik pun memiliki kapasitas tinggi dan layak didorong.

“Peningkatan kapasitas yang cepat menandakan bahwa Indonesia tengah mengejar posisi strategis di kawasan. Ini harus terus dipercepat,” lanjutnya.

Tapi angka saja tak cukup. Meutya mengingatkan pentingnya kebermanfaatan sosial dari setiap investasi. Ia tak ingin pusat data hanya jadi menara gading digital. Ia ingin mereka jadi lentera yang menerangi UMKM, petani, nelayan, dan layanan kesehatan. “Kami mendorong agar investasi seperti EDGNEX tidak hanya besar dalam skala, tetapi juga memberikan nilai tambah bagi masyarakat,” katanya menegaskan.

Apa artinya pusat data bagi rakyat?

Bagi sebagian orang, itu terdengar jauh. Tapi di balik layar, semua yang kita sentuh, dari aplikasi ojek, belanja daring, sampai diagnosis AI untuk kesehatan, bergantung pada infrastruktur ini. Tanpa pusat data, tak akan ada layanan yang cepat, aman, dan cerdas.

Dan ketika Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi digital, maka yang dibuka sejatinya bukan hanya gerbang ekonomi. Tapi juga peluang pemerataan. Ketika data tersimpan di dalam negeri, maka kedaulatan digital menjadi nyata. Ketika digitalisasi merata hingga desa, maka demokratisasi informasi pun bergerak.

“Kami berharap tingkat kepercayaan investor baik dari dalam maupun luar negeri terus meningkat untuk mendukung ekosistem infrastruktur digital nasional yang tangguh dan inklusif,” tutup Meutya.

Di Cikarang nanti, pusat data bukan sekadar bangunan. Ia adalah simbol zaman. Sebuah tapal batas baru yang menandai babak baru negeri ini. Dari tanah yang dulu dikenal dengan pabrik-pabrik manufaktur, kini menjelma sebagai fondasi ekonomi berbasis data.

Indonesia tak lagi hanya menjual sumber daya. Kita tengah membangun rumah besar bernama transformasi digital. Dan pintunya kini telah dibuka. |WAW-JAKSAT