Dari kiri ke kanan: I Nyoman Radiarta, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPPSDM KP); Didit Herdiawan, Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan RI; Hajime Ueda, Minister of Economic Affairs and Development di Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia; Sujala Pant, Deputy Resident Representative UNDP Indonesia dalam acara peluncuran Project SeaBLUE di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta, 19Juni 2025.
Dari kiri ke kanan: I Nyoman Radiarta, Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPPSDM KP); Didit Herdiawan, Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan RI; Hajime Ueda, Minister of Economic Affairs and Development di Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia; Sujala Pant, Deputy Resident Representative UNDP Indonesia dalam acara peluncuran Project SeaBLUE di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta, 19Juni 2025.

JAKARTASATU.COM – Morotai dan Tanimbar dipilih sebagai laboratorium transformasi ekonomi biru. Lewat program SeaBLUE, ribuan nelayan skala kecil mulai menjejak masa depan yang lebih terang.

“Kami tak ingin nelayan Indonesia sekadar bertahan hidup,” begitu kata Didit Herdiawan, Wakil Menteri Kelautan dan Perikanan RI.

Di Morotai, Maluku Utara, pada suatu pagi di pertengahan Juni, di antara deru ombak dan anyir laut yang lekat, puluhan perahu kecil bertambat dengan cat pudar. Beberapa nelayan menggulung jaring, sebagian lagi duduk diam menatap jauh ke horizon, seperti sedang menimbang untung-rugi hari itu. Laut memang tak selalu bersahabat. Tapi yang lebih menakutkan bagi mereka kini adalah cuaca yang tak bisa diprediksi, biaya es yang kian mahal, dan hasil tangkapan yang makin sulit dijual dengan harga layak.

Dan mereka tak sendiri. Di Tanimbar, Maluku, kisahnya pun serupa. Laut memang menjadi nadi ekonomi, tetapi perahu dan jaring mereka kalah oleh perubahan zaman. Teknologi rendah emisi, cold storage berbasis surya, pelatihan usaha alternatif, atau sekadar informasi harga pasar, kesemuanya itu masih jadi barang langka bagi mereka.

Untunglah, kini, harapan itu datang dengan nama SeaBLUE.

Menghidupkan Ekonomi Biru

“Nelayan skala kecil adalah tiang penyangga ketahanan pangan laut kita,” ujar I Nyoman Radiarta, Kepala BPPSDM KP

SeaBLUE, merupakan kependekan dari Strengthening Livelihoods of Small-Scale Fishers and Promoting Sustainable Local Economic Development through the Blue Economy. Ia adalah program hasil kolaborasi beberapa institusi seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, UNDP, serta Pemerintah Jepang. Inisiatif ini merupakan bagian dari implementasi Peta Jalan Ekonomi Biru Indonesia 2023–2045.

Di tahap awal, lebih dari 1.600 nelayan skala kecil di dua titik perbatasan timur, Morotai dan Tanimbar akan menjadi penerima manfaat langsung. Setidaknya 30 persen di antaranya adalah perempuan, yang notabene selama ini memegang peran kunci dalam rantai pasok hasil perikanan namun kurang terdengar dalam wacana kebijakan.

“Ini bukan sekadar proyek pembangunan. Ini upaya membalik peta,” jelas Didit Herdiawan.

SeaBLUE akan memberi pelatihan, peralatan, hingga akses pembiayaan. Teknologi seperti kapal listrik, sistem pendingin portabel bertenaga surya, dan cold storage berbasis energi terbarukan akan dikenalkan di desa-desa pesisir. Tujuannya bukan hanya mengurangi emisi karbon, tetapi juga mengatasi kerugian pasca panen yang selama ini menjadi momok utama para nelayan kecil.

Data, Teknologi, dan Keadilan Sosial

“Kami percaya pada kekuatan manusia sebagai motor utama perubahan,” jelas Sujala Pant, Deputy Resident Representative UNDP Indonesia.

Di sini, UNDP menekankan pentingnya investasi pada manusia. Mereka menolak melihat teknologi sebagai solusi tunggal. Karena itu, selain peralatan, program SeaBLUE juga melibatkan pelatihan diversifikasi usaha, penguatan manajemen kelembagaan desa, serta pendataan berbasis Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (KUSUKA).

Setidaknya 1.500 nelayan baru ditargetkan masuk ke sistem KUSUKA. Ini membuka akses terhadap subsidi, pelatihan, asuransi, serta pembiayaan mikro. Di sisi lain, 100 petugas daerah dilatih untuk memperbaiki kualitas layanan publik berbasis data. Pemerintah juga akan mengembangkan SIMKADA dan menerapkan sistem pelacakan hasil tangkapan dengan QR code.

Tentunya program ini bukanlah langkah kecil. Data adalah fondasi. Tanpa data yang akurat, nelayan akan terus luput dari perhatian, dan kebijakan akan terus meleset dari sasaran.

Jepang, Diplomasi, dan Morotai

“Kami bangga dapat berkolaborasi untuk membangun ekosistem perikanan yang berkelanjutan,” kata Hajime Ueda, Minister of Economic Affairs and Development, Kedutaan Besar Jepang.

Program SeaBLUE juga mencerminkan pergeseran pola kerja sama internasional. Jepang, yang selama ini aktif melalui JICA membangun pelabuhan dan pasar di wilayah timur Indonesia, kini masuk lebih dalam ke aspek sosial dan ekonomi.

Dengan menyatukan pendekatan infrastruktur dan pemberdayaan manusia, Jepang berharap sinergi ini menghasilkan dampak berkelanjutan. Di Pulau Morotai dan Saumlaki, SeaBLUE menjadi pelengkap dari investasi sebelumnya.

Bagi Pemerintah Jepang, menjaga laut berarti menjaga kehidupan bersama. Dan laut Indonesia, seperti yang mereka yakini, punya peran strategis dalam ketahanan pangan dan perubahan iklim global.

“Kami ingin nelayan bisa menabung harapan, bukan sekadar bertahan hidup,” imbuh Didit Herdiawan.

Morotai dan Tanimbar dipilih karena mewakili wajah nyata keterbatasan di kawasan timur Indonesia. Akses infrastruktur yang buruk, kemiskinan yang mengakar, prevalensi stunting tinggi, hingga ancaman illegal fishing menjadi tantangan berlapis. Tetapi justru di tempat seperti inilah potensi perubahan bisa terlihat paling mencolok.

Melalui SeaBLUE, sekitar 8.000 warga diproyeksikan akan terdampak langsung maupun tidak langsung. Program ini menyentuh segala sisi—dari peralatan produksi hingga pengelolaan usaha, dari perempuan pesisir hingga sistem digitalisasi pelayanan publik.

Sebagai penutup peluncuran, digelar diskusi panel yang menghadirkan pakar dari IPB, BRIN, JICA, dan pelaku inovasi teknologi hijau. Mereka bicara tentang integrasi energi terbarukan, efisiensi rantai pasok, hingga model bisnis perikanan skala kecil yang berdaya saing.

Apa yang dilakukan SeaBLUE bukan sekadar menciptakan perubahan teknis, tapi membangun ekosistem baru. Ekosistem yang lebih adil, lebih inklusif, dan lebih tangguh menghadapi masa depan yang tak pasti.

Dari Laut ke Layar, dari Asa ke Aksi

Morotai kini tak sekadar jadi titik di peta. Bersama Tanimbar, mereka menjelma panggung percontohan bagaimana program yang dirancang dengan empati, data, dan kolaborasi bisa menghidupkan kembali desa-desa pesisir. Bahwa ekonomi biru bukan jargon kosong, melainkan peluang nyata bagi mereka yang selama ini nyaris tenggelam di lautan statistik.

SeaBLUE menjanjikan satu hal yang sederhana, tetapi paling esensial—keadilan bagi mereka yang hidup dari laut. | WAW-JAKSAT.