IST
IST

Tak Elok dan Tak Patut Narasi itu dari seorang Pemimpin (Seorang Gubernur)

Tak Elok dan Tak Patut dari Seorang Gubernur (pemimpin daerah) yang apalagi saat ini lagi palin-paling suka”viral”.  Adalah Dedi Mulyadi kini sering disebut sebagai KDM, Kang Dedi Mercury eh Mulyadi. Namun saya menyayangkan bahawa ada pernyataannya tak elegan “lebih baik sekolah di usia muda daripada janda di usia muda” pada 17 Juni 2025. Ini mencerminkan betapa dangkalnya pemahaman pejabat publik terhadap isu perempuan dan  dan kemanusiaan –apalagi– meski disampaikan dengan nada bercanda di hadapan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, dan lalu disebarkan lewat Instagram pribadinya, tapi komentar tersebut bukan sekadar tidak sensitif — tapi tidak patut dan tidak layak dari seorang pemimpin daerah.
Wilayah Sensitif Itu Bernama perempuan atawa soal gender adalah bicara tentang keadilan sosial, perlindungan, dan pemulihan martabat. Ini bukan ruang retoris yang bisa digunakan seenaknya untuk menggugah tawa atau menggiring opini.
Bahkan Menteri PPPA Bintang Puspayoga (Gusti Ayu Bintang Darmawati) pernah menegaskan: “Pernyataan publik harus menghormati perjuangan perempuan. Perempuan yang menjadi janda, single mother, pekerja informal, mereka semua manusia yang harus dihormati martabatnya.”
Kita hidup di tengah masyarakat yang masih memandang status janda dengan stigma: dianggap beban, dianggap kurang berharga, bahkan dianggap tidak mampu membesarkan anak sendiri.
Nah pernyataan KDM justru memperkuat stigma ini. Apakah Gubernur yang memimpin Jabar ini  menyadari bahwa banyak perempuan terpaksa menikah muda karena kemiskinan struktural, perjodohan, atau bahkan paksaan?
Dan bahwa apakah menjadi janda di usia muda seringkali adalah hasil dari kegagalan sistem, bukan kesalahan pribadi? Bahaya Lelucon dari Kursi Kekuasaan Ucapan seperti ini bukan sekadar slip of the tongue.
Ini adalah gambaran cara berpikir seorang pejabat yang belum memahami kekuatan kata-kata. Narasi dari pemimpin adalah kebijakan yang tak tertulis — ia bisa menginspirasi atau merusak, membebaskan atau menindas. Bahkan Komnas Perempuan merespons tegas:
“Pernyataan yang merendahkan perempuan dengan menyebut status ‘janda muda’ dalam nada guyon adalah bentuk kekerasan simbolik dan stereotipe gender yang tak pantas keluar dari pejabat publik.”
Dalam konteks ini, diam justru bisa lebih bijak dan berkata baik lebih indah, daripada mengeluarkan pernyataan yang melukai.
Dalam konteks pendidikan, seharusnya Gubernur bicara soal akses pendidikan yang setara, perlindungan anak perempuan dari pernikahan dini, atau peningkatan literasi keluarga — bukan melempar istilah “janda muda” sebagai ancaman simbolik.
Buya Syafii Maarif pernah berkata: “Ukuran peradaban sebuah bangsa adalah cara mereka memperlakukan perempuan.” Kalimat itu harusnya jadi pengingat bagi setiap pejabat yang bicara di forum publik. Apakah peradaban kita sedang menurun jika pemimpin kita masih menertawakan perempuan atas nasib yang sering kali bukan pilihan?
Baiknya saat ini Minta Maaf dan Belajar Bukan malu untuk meminta maaf. Seorang pemimpin yang besar adalah yang tahu kapan ia salah, dan tahu bagaimana memperbaikinya. KDM seharusnya segera minta maaf secara terbuka, bukan membiarkan pernyataan itu menjadi normalisasi diskriminasi.
Sebagaimana ditegaskan oleh Rocky Gerung dalam banyak forum: “Pemimpin yang tak mampu berpikir dalam ruang sensitif adalah pemimpin yang tidak tahu batas.” Dan di tengah perjuangan bangsa ini melawan kekerasan terhadap perempuan, pelecehan verbal, dan diskriminasi sistemik, kita butuh pemimpin yang tahu batas — bukan yang melanggarnya dengan senyuman.
Hati-hati dalam Bertutur
Kita menginginkan Indonesia yang setara dan berkeadilan. Semua itu dimulai dari ucapan-ucapan kecil yang membentuk narasi besar. Kalau seorang gubernur saja bisa melecehkan status perempuan dalam candaan, bagaimana rakyat bisa belajar menghargai perempuan dengan benar?
Sudah saatnya pejabat publik belajar bicara yang bijak, atau diam jika belum tahu. Karena kata-kata itu kekuasaan — dan kekuasaan, bila jatuh ke tangan yang tak berempati, bisa lebih berbahaya daripada kebijakan yang salah. Akhirnya tulisan ini menyampaikan janganlah rendahkan Perempuan di Atas Panggung yang sedang berkuasa saat ini. Pemimpin seharusnya menjadi penyeimbang dalam masyarakat, bukan penggiring arus diskriminasi. Nuhun…
Catatan  Aendra MEDITA, Jurnalis, Pemerhati sosial  dan Etika Publik