tangkapan layar pulai itu

Pulau Bukan Barang Dagangan: Kedaulatan Kita Bukan Properti Online

Oleh Aendra Medita

ADA info Pulau-pulau di Anambas itu ditawarkan lewat situs bernama Private Islands Inc yang berbasis di 80 Simcoe Street, Suite 102A Collingwood, Ontario  L9Y 1H8, Kanada. Wah ini makin ramai dan seakan tak habis pulau-pulai ini diperguncingkan setelah raja Ampat, 4 pulai Aceh dan kini pulau Anambas
Pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) angkat bicara soal dijualnya pulau kecil di Kabupaten Anambas,. KKP menegaskan bahwa tidak ada regulasi di Indonesia yang membenarkan penjualan pulau. Bagsulah kalau demikian.

Di tengah riuh rendah digitalisasi dan e-commerce yang menembus segala lini, sebuah kabar mengusik nurani kebangsaan kita: sebuah pulau di Kepulauan Anambas, Indonesia, konon ditawarkan secara online kepada investor asing.

Bukan sekadar ditawarkan untuk dikelola, tapi dengan narasi seolah pulau itu adalah milik pribadi yang bisa dibeli, disewa, bahkan dimiliki seutuhnya oleh pihak luar. Ini bukan sekadar persoalan hukum properti — ini menyangkut harga diri bangsa, kedaulatan negara, dan hak publik atas ruang hidup.

Negara Ini Milik Bersama, Bukan Milik Pemodal

Konstitusi kita tegas: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945).

Lalu, bagaimana bisa sebuah pulau — lengkap dengan pantai, laut, dan terumbu karang — ditawarkan seolah itu sebidang tanah kosong tak bertuan? Dalam diam yang menyakitkan, sistem mulai bergeser: tanah jadi komoditas, pulau jadi katalog, dan kedaulatan berubah menjadi sewa jangka panjang.

Jika ini dibiarkan, maka yang akan hilang bukan hanya terumbu karang dan vegetasi tropis, tetapi juga makna “Tanah Air” itu sendiri. Sebab, apa artinya Tanah Air jika kita tak bisa lagi menginjakkan kaki di pantai sendiri tanpa izin dari investor asing? Investasi Bukan Alasan Menggadaikan Kedaulatan Kita tidak anti investasi.

Tapi ketika investasi berubah menjadi dominasi, lalu menjelma menjadi penguasaan penuh atas ruang publik, maka itu bukan lagi pembangunan — itu kolonialisme dalam bungkus modern. Pulau-pulau kecil di wilayah terluar Indonesia adalah titik-titik strategis yang menentukan garis imajiner negara kita.

Jika dikuasai oleh asing — meskipun hanya dalam bentuk hak sewa atau konsesi jangka panjang — maka kontrol terhadap wilayah itu perlahan berpindah tangan. Masalah ini bukan hanya soal pariwisata atau pengembangan ekonomi, tapi juga soal geopolitik dan keamanan nasional.

Jangan Lagi Warga Hanya Jadi Penonton

Kisah klasik pembangunan di wilayah pesisir selalu sama: investor datang dengan janji lapangan kerja, warga disuruh minggir, laut dibatasi, dan pantai dipagari. Lalu muncul resor megah, dermaga pribadi, dan larangan bagi nelayan untuk melaut. Akses publik dihapus secara halus.

Warga lokal tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Mereka hanya diminta diam dan menyaksikan tanah leluhur mereka berubah jadi destinasi eksklusif bagi tamu-tamu luar negeri.

Inikah pembangunan yang kita banggakan?

Pemerintah Harus Hadir: Tegas dan Transparan Pemerintah, baik pusat maupun daerah, tidak boleh abai. Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Pemkab Anambas harus membuka status legal pulau tersebut. Apakah benar dijual? Jika hanya disewa, apa bentuk kontraknya?

Apakah melibatkan masyarakat lokal? Apakah mengabaikan UU Pesisir dan Pulau-pulau Kecil? Kita menuntut transparansi. Dan jika ditemukan pelanggaran, maka izin harus dicabut dan proses hukum ditegakkan. Karena kita tak bisa menukar sepotong kedaulatan dengan angka investasi.

Suara Kita Tak Boleh Diam Hari ini satu pulau ditawarkan, besok bisa jadi sepuluh. Jika kita tidak bersuara hari ini, maka pada akhirnya, kita hanya akan menjadi penyewa di negeri sendiri. Kita bukan penjajah, tapi kita pun tak rela dijajah dalam bentuk baru. Kita bukan anti-kemajuan, tapi kita juga tak bisa menerima jika nama “kemajuan” dijadikan dalih untuk menjual pantai, karang, dan laut kita.

Pulau adalah identitas. Laut adalah harga diri. Indonesia bukan properti online.

Aendra Medita adalah jurnalis, dan pengamat sosial. Aktif dalam isu-isu keberlanjutan, budaya, dan advokasi ruang publik.