UN Photo/Evan Schneider Secretary-General António Guterres briefs reporters outside the Security Council in New York.
UN Photo/Evan Schneider Secretary-General António Guterres briefs reporters outside the Security Council in New York.
JAKARTASATU.COM – Minggu pagi, 22 Juni 2025. Dunia terbangun dengan getaran lain dari Timur Tengah. Getaran itu bukan gempa bumi, melainkan suara pecah dari langit Esfahan, Natanz, dan Fordow, fasilitas nuklir paling dijaga di Iran yang luluh lantak dihantam rudal siluman dan bom penghancur bunker milik Amerika Serikat.
Presiden AS Donald Trump Jr., lewat akun Truth Social-nya, menyebut operasi itu sebagai “langkah pencegahan nuklir” dan menyatakan bahwa Iran telah menerima “peringatan terakhir” sebelum terlambat. Washington mengklaim bahwa serangan itu adalah “tindakan sah dalam membela keamanan global”.
Namun bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa, serangan itu justru menciptakan bara yang bisa menjalar tanpa kendali.
Dari markas kaca tinggi di New York, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengeluarkan pernyataan yang nadanya tajam namun dingin. Kalimat-kalimatnya ibarat pukulan diplomatik yang menampar logika militeristik para pemimpin dunia.
“Saya sangat prihatin atas penggunaan kekuatan oleh Amerika Serikat terhadap Iran hari ini. Ini merupakan eskalasi berbahaya di wilayah yang sudah berada di ambang krisis dan menjadi ancaman langsung terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Risiko bahwa konflik ini akan segera lepas kendali semakin meningkat dengan konsekuensi yang bisa menjadi bencana bagi warga sipil, kawasan, dan dunia. Saya menyerukan kepada Negara-Negara Anggota untuk meredakan ketegangan dan mematuhi kewajiban mereka berdasarkan Piagam PBB dan aturan hukum internasional lainnya. Di saat yang genting ini, sangat penting untuk menghindari spiral kekacauan. Tidak ada solusi militer. Satu-satunya jalan ke depan adalah diplomasi. Satu-satunya harapan adalah perdamaian.”
Pernyataan itu dirilis pada 21 Juni 2025, hanya beberapa jam sebelum dentuman pertama di langit Iran terdengar. Bagi sebagian diplomat senior, ini adalah firasat yang menjadi kenyataan dalam waktu kurang dari 24 jam.
Serangan yang Menggores Dunia
Sumber militer Barat menyebut operasi ini melibatkan setidaknya dua pembom siluman B-2 Spirit, satu kapal selam kelas Virginia, dan satu kapal perusak USS Arleigh Burke yang melepaskan rudal Tomahawk dari Laut Arab. Targetnya spesifik: infrastruktur nuklir Iran yang diduga aktif kembali.
Kementerian Kesehatan Iran mencatat 437 korban jiwa, sebagian besar adalah staf teknis dan penduduk di sekitar kawasan industri Esfahan. Rumah Sakit Shahid Beheshti dilaporkan penuh dalam dua jam pertama pascaserangan. Pemerintah Iran menyebut serangan itu “pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan nasional dan hukum internasional.”
Serangan itu memicu respons cepat dari Teheran. Lima jam kemudian, Iran meluncurkan 17 rudal balistik ke arah Haifa dan Tel Aviv, menewaskan delapan orang dan melukai dua puluh dua lainnya di Israel utara. Sirene kembali meraung. Rakyat panik. Dunia kembali terjebak dalam situasi déjà vu—konflik tanpa akhir, peluru tanpa perundingan.
Langit yang Gelap, Harapan yang Diringkus
Dalam waktu singkat, harga minyak melonjak hingga menyentuh US$142 per barel. Pasar energi global berguncang. Para investor bergegas mengamankan aset ke mata uang kripto dan emas. Perbatasan Irak ditutup. Bandara Bahrain dan Qatar sempat menghentikan penerbangan sipil.
Namun di tengah kekacauan global, suara Guterres tetap nyaring—bukan karena kekerasannya, tapi karena akal sehat yang mulai langka.
Diplomasi, menurut Guterres, adalah satu-satunya jalan yang tersisa. Dalam pernyataan lanjutan, ia memperingatkan bahwa penggunaan kekuatan secara uniliteral telah terbukti selalu membawa “bencana jangka panjang” bukan hanya untuk pihak yang diserang, tapi juga bagi stabilitas internasional. Ia mengimbau agar semua negara anggota “menahan diri dari retorika yang menghasut”.
Seruan yang Diabaikan?
Ironisnya, Dewan Keamanan PBB belum mencapai konsensus. Amerika Serikat memveto resolusi Rusia dan China yang mengecam tindakan militernya. Negara-negara Eropa terduduk di tengah—canggung antara kebutuhan diplomatik dan aliansi militer.
Namun masyarakat sipil dunia tak tinggal diam. Ribuan orang turun ke jalan di London, Berlin, New York, dan Jakarta menyerukan gencatan senjata dan meminta penyelidikan independen atas serangan tersebut. Mereka membawa spanduk bertuliskan Peace Now or Never dan No More War for Oil.
Di Indonesia, Presiden Anies Baswedan menyatakan keprihatinan mendalam dan menyerukan sidang darurat ASEAN mengenai dampak regional dari eskalasi konflik. “Indonesia berdiri di sisi perdamaian, bukan peluru,” ujarnya dalam pidato kenegaraan pada 22 Juni malam.
Apakah Dunia Masih Bisa Waras?
“Tidak ada solusi militer,” ulang Guterres, tegas dan tanpa keraguan. Namun pertanyaannya kini, “Siapa yang masih mau mendengarkan?”
Ketika gempuran rudal lebih sering terdengar daripada diplomasi, dan ketika retorika kekuatan dianggap sebagai simbol kejantanan politik, suara kewarasan seperti Guterres sering terdengar asing. Tapi barangkali justru karena itulah ia menjadi penting, karena ia melawan arus. Karena di dunia yang makin gaduh, suara damai adalah satu-satunya yang layak kita pegang teguh. |WAW-JAKSAT