Syrian refugees Batool, 9, and her brother Abdulaziz, 7, in the Zaatari refugee camp, Jordan. Pengungsi Syria, Batool (9) dan adiknya Abdulaziz (7) di Kamp pengungsi Zaatari, Yordania. ©️UNHCR | Shawkat Alharfoush
Syrian refugees Batool, 9, and her brother Abdulaziz, 7, in the Zaatari refugee camp, Jordan. Pengungsi Syria, Batool (9) dan adiknya Abdulaziz (7) di Kamp pengungsi Zaatari, Yordania. ©️UNHCR | Shawkat Alharfoush

Tahun Penuh Pengusiran, Dunia Kehilangan Rumah, dan Kemanusiaan Kehilangan Dana

JAKARTASATU.COM – Di antara lipatan peta dunia yang kian bergejolak, ada satu angka yang terus membengkak, menyesakkan: 122,1 juta orang. Sebuah statistik yang tak hanya mencerminkan krisis, tetapi juga nyawa-nyawa yang tercerabut dari akar, terusir oleh perang, kekerasan, dan penganiayaan. Di tengah Hari Pengungsi Sedunia yang diperingati pada 20 Juni 2025, UNHCR merilis laporan yang tak sekadar memuat data, tapi juga jeritan diam dari jutaan manusia yang kehilangan tempat pulang.
Pengungsian yang Tak Pernah Usai
Hingga akhir April 2025, data menunjukkan bahwa jumlah orang yang terpaksa mengungsi kembali meningkat. Setiap tahun selama satu dekade terakhir, angka ini terus melonjak. Tahun lalu tercatat 120 juta, kini lebih dari 122 juta. Kenaikan ini tidak datang dari kekosongan, tetapi dari konflik yang terus menyala di berbagai belahan dunia, dari Sudan yang kini menjadi episentrum pengungsian terbesar di dunia, menyalip Suriah, hingga kekacauan berkepanjangan di Myanmar dan Ukraina.
Sudan mencatat 14,3 juta jiwa pengungsi dan pengungsi internal, disusul Suriah dengan 13,5 juta, Afghanistan 10,3 juta, dan Ukraina 8,8 juta. Sementara di dalam batas negara, jumlah pengungsi internal melonjak tajam sebesar 6,3 juta, menjadi total 73,5 juta orang.
Namun lebih dari angka-angka, Filippo Grandi, Komisioner Tinggi UNHCR, menggambarkan dunia saat ini sebagai “masa ketidakstabilan yang intens dalam hubungan internasional”, di mana perang modern menciptakan kondisi rapuh dan penderitaan manusia yang tak terperikan. Dalam pernyataannya, Grandi menggarisbawahi urgensi untuk menggandakan upaya dalam mencari perdamaian dan solusi jangka panjang.
Ironi Kemanusiaan: Rumah Hilang, Dana Terpangkas
Di saat krisis semakin parah, dana kemanusiaan justru menyusut. Meski jumlah orang yang terpaksa mengungsi nyaris dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir, anggaran yang diterima UNHCR hampir tidak berubah dari 2015. Sebuah jurang menganga antara kebutuhan nyata dan komitmen global.
Hal ini tak hanya membuat program penyelamatan jiwa terancam, tapi juga meningkatkan kerentanan jutaan orang yang bergantung pada bantuan internasional. Ketika dunia menutup dompetnya, para pengungsi dibiarkan membuka tangan mereka, bukan untuk meminta, tetapi untuk bertahan hidup.
Namun, dalam badai yang mengguncang, masih ada lilin-lilin kecil yang menyala. Hampir dua juta warga Suriah kembali ke rumah mereka setelah bertahun-tahun terusir. Secara keseluruhan, 9,8 juta orang berhasil kembali ke kampung halaman pada tahun 2024, termasuk 1,6 juta pengungsi, angka tertinggi dalam dua dekade dan 8,2 juta pengungsi internal.
Akan tetapi, tidak semua kepulangan berlangsung dalam kondisi ideal. Banyak yang pulang ke reruntuhan, tanpa jaminan keamanan, infrastruktur, atau harapan. Di Afghanistan, misalnya, gelombang kepulangan terjadi dalam situasi yang sangat memprihatinkan. Di Republik Demokratik Kongo, Myanmar, dan Sudan Selatan, kembalinya sebagian orang terjadi bersamaan dengan munculnya gelombang pengungsian baru.
Realitas yang Tidak Bisa Diabaikan
Terdapat persepsi keliru bahwa para pengungsi berbondong-bondong menuju negara-negara kaya. Fakta menunjukkan sebaliknya: 67 persen dari mereka tinggal di negara-negara tetangga, dan 73 persen ditampung oleh negara berpenghasilan rendah dan menengah. Bahkan, 60 persen dari pengungsi global tidak pernah meninggalkan tanah air mereka.
Ini menantang narasi global dan menggarisbawahi pentingnya solidaritas lintas batas. UNHCR menyerukan pendanaan berkelanjutan untuk program-program vital yang tidak hanya menyelamatkan nyawa, tetapi juga membangun kembali kehidupan. Dari pengungsi hingga pengungsi internal, dari kamp darurat hingga komunitas tuan rumah, semua membutuhkan dukungan global yang konsisten, bukan hanya simpati musiman.
Menutup Luka, Membuka Masa Depan
Di balik statistik yang menggugah, tersembunyi ribuan wajah dan kisah. Seorang anak yang kehilangan sekolah, seorang ibu yang melahirkan di tenda pengungsian, seorang ayah yang kehilangan pekerjaannya karena perang. Mereka tidak mencari belas kasihan, mereka butuh kesempatan kedua.
Maka, lebih dari sekadar angka, laporan UNHCR 2024 ini adalah seruan nurani. Bahwa dunia tak boleh terus abai. Bahwa rumah bukan sekadar bangunan, melainkan hak dasar setiap manusia. Dan bahwa kemanusiaan sejati diuji bukan saat semuanya mudah, tapi ketika dunia terguncang dan kita tetap memilih untuk peduli. |WAW-JAKSAT