
JAKARTASATU.COM – Mereka datang dalam formasi tegap, senyap tapi mantap, membawa kenangan dari sebuah negeri yang tak selalu ramah namun memanggil dalam nama damai. Satu per satu, 157 prajurit Satuan Tugas Kompi Zeni (Satgas Kizi) TNI Konga XX-U melangkah turun dari pesawat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang. Wajah-wajah mereka mengabarkan kisah panjang tentang peluh dan pengabdian di timur Republik Demokratik Kongo. Di belakang mereka, jalan-jalan yang dulu terputus kini tersambung. Bandara yang semula tak berfungsi kini menjadi denyut logistik dan harapan.
Bukan sekadar upacara penyambutan militer. Bagi Komandan Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) TNI Mayjen TNI Taufik Budi Santoso, penyambutan ini adalah momen pemaknaan. Ia berdiri di podium, suaranya tegas tapi hangat.
“Selamat datang kembali di tanah air. Tidak ada kebanggaan yang lebih besar bagi seorang pimpinan selain menyambut kembalinya pasukan yang telah berhasil menjalankan tugas negara dengan selamat dan terhormat.”

Mereka yang baru kembali bukan pasukan biasa. Satgas Konga XX-U yang dipimpin Letkol Czi Dili Eko Setyawan telah menorehkan catatan prestasi di medan yang tak pernah jinak. Di tengah belantara konflik dan senapan, pasukan Indonesia memilih memegang cangkul dan semen. Mereka membangun kembali infrastruktur, merehabilitasi Bandara Beni yang lumpuh, dan membuka akses jalan di kawasan terisolasi. Keberadaan mereka bukan hanya memperkuat mobilitas militer namun juga menyambung urat nadi warga sipil. Atas upaya ini, Komandan Pasukan MONUSCO memberikan penghargaan bergengsi Force Commander’s Coin of Honour. Sebuah pengakuan tak sembarangan di tengah arena multinasional.
Namun, waktu tak berhenti di landasan. Hari itu juga, Indonesia mengirim generasi penerus. Sebanyak 175 personel Satgas Konga XX-V yang dipimpin Mayor Czi Tommy J. O. Sunggu mengambil tongkat estafet. Mereka tak menuju tanah kosong. Di sana, masih bersembunyi bayang-bayang ketidakpastian. Kelompok bersenjata seperti ADF, Maimai, hingga M23 masih menjadi momok. Namun, seperti yang telah dilakukan oleh pendahulunya, mereka berangkat bukan dengan ambisi menaklukkan, melainkan niat memulihkan.
Mayjen Taufik mengingatkan dalam pesannya sebelum keberangkatan. Suaranya terdengar seperti nasihat seorang ayah kepada anak-anaknya yang hendak menyeberangi samudra.
