JAKARTASATU.COM– Mahkamah Konstitusi (MK) kembali mengeluarkan putusan penting yang memisahkan pelaksanaan pemilu serentak menjadi dua jenis, yaitu pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Keputusan ini diungkapkan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Anas Urbaningrum, melalui akun X-nya pada Kamis (26/6).
Putusan MK ini melanjutkan serangkaian keputusan penting sebelumnya, di mana MK telah membatalkan ambang batas parlemen 4% untuk DPR dan ambang batas pencalonan presiden 20% kursi atau 25% suara untuk pemilihan presiden.
Menurut Anas, pemilu serentak nasional akan mencakup pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan anggota DPR, dan pemilihan anggota DPD. Sementara itu, pemilu serentak daerah akan diselenggarakan bersamaan untuk pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang meliputi pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota, serta pemilihan anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Jarak waktu antara kedua jenis pemilu serentak ini juga diatur, yaitu pemilu serentak daerah akan diselenggarakan antara 2 hingga 2,5 tahun setelah pelantikan Presiden, Anggota DPR, dan Anggota DPD. Dengan demikian, setiap sekitar 2,5 tahun sekali akan ada penyelenggaraan pemilu, baik pemilu serentak nasional maupun daerah.
Anas Urbaningrum melihat banyak sisi positif dari putusan ini. Ia berpendapat bahwa pemisahan pemilu akan membuat fokus isu-isu menjadi lebih tajam. Isu-isu nasional, khususnya terkait Pilpres, akan terangkat maksimal dalam pemilu serentak nasional, meskipun isu daerah tetap penting bagi pemilihan anggota DPR dan DPD. Sebaliknya, isu-isu lokal akan mendapatkan porsi yang lebih besar dalam pemilu serentak daerah. Selama ini, pemilu legislatif lokal kerap terpinggirkan oleh hiruk pikuk isu nasional, terutama Pilpres.
Selain itu, Anas juga menyoroti potensi pengurangan kerumitan dalam penyelenggaraan pemilu, baik bagi penyelenggara maupun pemilih. Ia meyakini bahwa pemilih akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menggunakan daya kognitif dan evaluatifnya secara maksimal sebelum menentukan pilihan politik.
Meski demikian, Anas mengakui bahwa putusan ini akan membawa konsekuensi penyesuaian masa jabatan, baik bagi anggota DPRD maupun kepala daerah. Ia menekankan perlunya pengaturan yang detail, khususnya untuk anggota DPRD yang masa jabatannya akan berakhir pada tahun 2029, guna menjamin legitimasi politik dalam pengisian anggota DPRD transisi 2029-2031.
Secara keseluruhan, Anas Urbaningrum menyatakan bahwa ia cenderung melihat putusan MK ini dari sisi baiknya untuk peningkatan kualitas pemilu dan demokrasi di Indonesia, sehingga patut disambut positif.
Namun, Anas mengingatkan bahwa seperti putusan MK terkait ambang batas parlemen dan pencalonan presiden, putusan tentang pemisahan pemilu serentak ini tidak akan langsung berlaku. Putusan ini memerlukan tindak lanjut dari pembentuk undang-undang, yaitu Pemerintah dan DPR. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat.
Sebelumnya, Pileg DPRD digelar bersamaan dengan Pileg DPR, DPD dan Pilpres. Hanya Pilkada yang digelar secara terpisah.
“Amar putusan mengabulkan pokok permohonan untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan dalam sidang gugatan MK di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/6).
Putusan itu dibacakan dalam sidang putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi UU.
Gugatan dilayangkan Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dalam hal ini diwakili Khoirunnisa Nur Agustyati sebagai Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irmalidarti sebagai Bendahara Pengurus Yayasan Perludem.
Pemohon mempermasalahkan ayat (1), Pasal 167 ayat (3), Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang Terhadap Pasal 1 Ayat (2), Ayat (3), Pasal 18 Ayat (4), Pasal 22E Ayat (1), Pasal 22E Ayat (5), Pasal 27 Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya UUD NRI 1945.
MK menyatakan Pasal 167 ayat 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan UU tahun 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat.
Sepanjang ke depan tidak dimaknai “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR, atau DPD atau pelantikan Presiden dan Wakil Presiden, dilaksanakan pelaksaan pemungutan secara serentak untuk memilih anggota DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan gubernur dan wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional“. (RIS)