Tuanku Lintau, Memadukan Adat Dan Islam Melalui Prinsip Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABSSBK), Yang Masih Relevan Hingga Kini
Oleh: Asdi Fitri.
(Buyuang Tabuang, Pemerhati Sejarah)
Pada saat mendengar atau membaca kata Lintau, apa yang terlintas dalam pikiran pembaca?
Mungkin ada yang mengatakan Silek Lintau (Silat Lintau), yaitu salah satu aliran tradisional pencak silat yang berasal dari Lintau, sebuah wilayah di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat tersebut. Ada juga yang menyebutkan Rumah Makan Padang Sederhana. Rumah makan yang cikal bakalnya dari sebuah Rumah Makan Padang kecil yang betul-betul sederhana di Pasar Bendungan Hilir, Jakarta Pusat pada tahun 1972 tersebut, yang dimiliki oleh anak nagari Lintau.
Apakah itu sudah cukup?
Ternyata belum. Kalau kita menyebutkan Perang Padri, dengan tokoh utamanya Tuanku Imam Bonjol, peran dari seorang Tuanku Lintau tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Tuanku Lintau adalah salah seorang tokoh penting dalam sejarah Perang Padri di Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Ia berasal dari Lintau, Tanah Datar, Minangkabau, dan dikenal sebagai tokoh ulama serta panglima Kaum Padri. Tuanku Lintau, juga dikenal sebagai Tuanku Pasaman, memiliki nama asli Saidi Muning.
Pada awal abad ke-19, muncul gerakan reformasi Islam yang dikenal sebagai gerakan Padri. Gerakan ini dipelopori oleh para ulama yang baru kembali dari Mekkah, termasuk Tuanku Imam Bonjol, dengan tujuan membersihkan masyarakat Minangkabau dari praktik-praktik yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam, seperti judi, minum-minuman keras, dan adat yang melanggar syari’at Islam.
Tuanku Lintau adalah salah satu ulama yang mendukung penuh gerakan ini. Ia memiliki pengaruh kuat di wilayah Lintau dan sekitarnya. Bersama para tuanku lainnya seperti Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Imam Bonjol, ia menyebarkan ajaran Islam yang lebih murni dan menegakkan syari’at Islam di tengah masyarakat Minangkabau.
Namun, perjuangan para ulama Padri ini mendapat tantangan dari sebagian kalangan adat (Kaum Adat), yang merasa terancam oleh perubahan yang dibawa oleh para ulama. Akibatnya, pecahlah konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat, yang kemudian dikenal sebagai Perang Padri (1803 – 1837).
Dalam konflik ini, Tuanku Lintau menjadi salah satu pemimpin yang aktif bertempur melawan kaum adat dan kemudian melawan pasukan Belanda yang ikut campur untuk mengendalikan wilayah Minangkabau.
Tuanku Lintau gugur dalam pertempuran melawan pasukan Belanda dan Kaum Adat, namun perjuangannya dikenang sebagai bagian dari semangat perlawanan terhadap penjajahan dan pembaruan dalam masyarakat Minangkabau.
Latar Belakang
Nama aslinya adalah Saidi Muning, lahir di Tepi Selo, Lintau Buo Utara, pada sekitar tahun 1750. Ia adalah anak seorang pedagang gambir, Datuk Sinaro.
Pendidikan Agama
Belajar di Surau Tuanku Nan Tuo (Koto Tuo), lalu di Natal, Mandailing Sumatera Utara dan kemudian di Pasaman. Beliau mendalami ilmu agama dan kebatinan, berkhidmat sebagai guru agama di Pasaman, yang membuatnya dikenal pula sebagai Tuanku Pasaman.
Pengaruh Gerakan Padri
Sekitar tahun 1813, Tuanku Lintau kembali ke Lintau dan bergabung dengan Kaum Padri, bagian dari kelompok “Harimau Nan Salapan” yang berupaya mereformasi pelaksanaan syari’at Islam di Minangkabau.
Tuanku Lintau mempunyai kedekatan kekerabatan dengan Sultan Arifin Muningsyah dari Kerajaan Pagaruyung, sehingga dipercaya menjembatani dialog antara Kaum Padri dan Kaum Adat.
Kepemimpinan dan Perang
Menetapkan sistem pemerintahan agama dan ekonomi (kopi, pertanian dan kolam ikan) di Lintau dan Lembah Sinamar, memantau sholat subuh secara ketat; dikenal tegas, bahkan pernah memberikan sanksi berat bagi pelanggar syariat Islam.
Pernah terjadi perundingan penting di Koto Tangah (1809 – 1815) yang gagal damai, yang mengakibatkan dia kemudian memerintahkan penyerangan terhadap pihak Adat, termasuk eksekusi anggota kerajaan seperti Raja Naro, Talang, serta anak Sultan Arifin Muningsyah.
Pertempuran melawan Belanda:
Tahun 1823 : Pasukan Belanda menyerang benteng Kaum Padri di Bukit Marapalam, kemudian bertempur hebat. Belanda kalah, kehilangan meriam dan personelnya.
Tahun 1830 : Pertahanan ditembus karena pengkhianatan, sehingga berakibat wilayah Lintau dan Bukit Marapalam jatuh ke Belanda.
Akhir Hayat dan Peninggalan
Tuanku Lintau meninggal di Pelalawan, Riau, pada tahun 1832. Makamnya saat ini berada di Desa Wisata Batu Basa, Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Peninggalan Fisik
Rumah gadang tua di Jorong Tangah Padang,Tepi Selo, Lintau Buo Utara, lengkap dengan kolam ikan, telaga selalu penuh; tongkat, pedang, dan prasasti peninggalannya.
Piagam pengukuhan sebagai pahlawan daerah pada tahun 1975.
Kontribusi Budaya dan Moral.
Menegakkan filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah melalui Sumpah Sakti Bukit Marapalam.
Mendorong ekonomi lokal dengan membangun kolam ikan, jalan, dan administrasi perdagangan kopi, garam, dan katun.
Ringkasan Peristiwa Utama
Tahun
Peristiwa
~1750
Lahir di Tepi Selo, Lintau Buo Utara
Awal 1800-an
Pendidikan agama di Pasaman → nama Tuanku Pasaman
1813
Bergabung dengan Kaum Padri di Lintau
1809 – 1815
Perundingan gagal → konflik internal adat
1823
Pertempuran sukses melawan Belanda di Bukit Marapalam
1830
Pertahanan jatuh karena pengkhianatan
1832
Wafat di Pelalawan, Riau.
Mengapa Tuanku Lintau Penting
Reformasi agama: Aktif menegakkan syar’iat Islam dan mendidik masyarakat agar lebih taat kepada ajaran Islam.
Pahlawan militer regional: Berani memimpin perlawanan terhadap kolonial dan Kaum Adat yang dianggap bertentangan dengan syari’at Islam.
Pembaru sosial dan ekonomi: Membangun infrastruktur lokal, pengelolaan lahan, dan perdagangan kopi.
Pengukir budaya dan nilai Minangkabau: Memadukan adat dan Islam melalui prinsip Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah (ABSSBK) yang masih relevan hingga kini.
Disarikan dari berbagai sumber dan ditulis Kembali, agar kita tidak melupakan sejarah, oleh Buyuang Tabuang, Pemerhati Sejarah, 30 Juni 2025.