Dekonstruksi Bhayangkara: Dari Majapahit  Republik

Oleh : Firman Tendry Masengi, SH.
Praktisi Hukum / Aktivis ProDem

Nama yang Sama, Jiwa yang Berbeda

Bhayangkara, kata yang dulu sakral, kini bergema dalam seremoni kenegaraan, parade kepolisian, dan jargon pengayoman. Tapi sejarah menyimpan ironi: Bhayangkara tak selalu berarti yang membela rakyat. Dalam transisi dari Majapahit ke VOC, hingga ke era Republik, makna Bhayangkara telah tergelincir — dari penjaga dharma, menjadi penjaga status quo kekuasaan.

Tulisan ini menelusuri transformasi radikal itu. Dari Bhayangkara yang hidup dalam semangat Kutaramanawa Dharmasastra, ke Bhayangkara versi VOC yang menjadi perisai kolonial, hingga Bhayangkara Republik yang berada di simpang jalan antara warisan etis dan hasrat koersif. Dan di tengah kabut sejarah itu, berdirilah satu nama agung yang merepresentasikan sisa-sisa cahaya moral Bhayangkara sejati: Jenderal Hoegeng Iman Santoso.

Bhayangkara Majapahit: Etika, Dharma, dan Penjaga Rakyat

Dalam sistem hukum Majapahit, yang berpijak pada Kutaramanawa Dharmasastra, hukum adalah laku hidup — bukan alat represi. Pelanggaran dipandang sebagai ketidakseimbangan moral dan sosial, dan penyelesaiannya harus merestorasi keharmonisan, bukan sekadar menghukum.

Bhayangkara di masa itu adalah penjaga nilai. Di bawah Gajah Mada, mereka menegakkan keadilan tanpa menindas, menjalankan perintah tanpa membunuh nurani. Bhayangkara bukan birokrat kekuasaan, tapi representasi dari raja adil — menjunjung tinggi prinsip tat twam asi: aku adalah engkau. Maka menyakiti rakyat sama dengan menyakiti dirinya sendiri.

Bhayangkara VOC: Penjaga Simbol Moral Hingga Algojo.

VOC tidak hanya menguasai tanah, tetapi juga struktur hukum. Mereka memelintir sistem lokal, termasuk institusi Bhayangkara, menjadi kaki tangan kolonial. Aparat berseragam pribumi dikerahkan bukan untuk melindungi, tapi untuk menindas bangsanya sendiri. Mereka adalah penjaga gudang rempah, bukan penjaga keadilan. Mereka menegakkan orde, bukan dharma.

Inilah titik pergeseran paling brutal: Bhayangkara kehilangan jiwanya. Mereka menjadi administrator kekerasan. Dalam bahasa Walter Benjamin, inilah “law-preserving violence” — kekerasan yang dilegalkan untuk melanggengkan dominasi.

Bhayangkara Republik: Antara Warisan Dharma dan Bayangan Otoriter

Setelah kemerdekaan, Republik mewarisi struktur negara kolonial, termasuk kepolisian. Nama Bhayangkara tetap digunakan, tetapi tantangan moralnya tetap sama: berpihak pada rakyat, atau melayani elite?

Dalam banyak kasus, Bhayangkara Republik lebih sering berdiri di sisi kekuasaan. Penegakan hukum kerap menjadi alat untuk melindungi penguasa dan menindas rakyat. Penangkapan aktivis, kriminalisasi oposisi, kekerasan terhadap demonstran — semua menegaskan bahwa Bhayangkara kita belum sepenuhnya kembali ke akar etiknya.

Jenderal Hoegeng: Bhayangkara Terakhir yang Menolak Dibeli

Dalam sejarah Republik, Jenderal Hoegeng Iman Santoso berdiri sebagai pengecualian. Ia bukan sekadar polisi, tapi simbol moral. Dalam dirinya, Bhayangkara Majapahit seakan hidup kembali — integritas, kesederhanaan, keberanian melawan korupsi, dan pembelaan pada rakyat kecil.

Hoegeng menolak sogokan, menolak manipulasi kekuasaan, bahkan menolak perlindungan elite. Ia lebih memilih kehilangan jabatan daripada kehilangan harga diri. Seperti Bhayangkara Majapahit, Hoegeng tidak mengabdi pada kekuasaan, tapi pada dharma — keadilan dan nurani.

Dalam konteks filsafat etika kekuasaan, Hoegeng adalah pengejawantahan virtù : ia punya kemampuan untuk bertindak, tapi juga kesadaran untuk tidak menyalahgunakannya.

Perbedaan Bhayangkara: Majapahit vs VOC vs Republik

Aspek Bhayangkara Majapahit Bhayangkara VOC Bhayangkara Republik

Fungsi Dasar:  Menjaga keadilan dan keseimbangan sosial

Menjaga kepentingan dagang dan kekuasaan kolonial

Ambivalen: antara melindungi rakyat atau kekuasaan politik

Acuan Hukum Kutaramanawa Dharmasastra (etis-spiritual).

Kodifikasi VOC (legalistik – represif). Algojo.

KUHP warisan Belanda & instruksi politik

Relasi dengan Rakyat.  Pelindung dan pemulih harmoni.

Represor dan alat penindasan.

Bersifat ambigu, tergantung tekanan elite dan perilaku koruptif.

Motif Etis Dharma, keadilan sosial.

Keuntungan ekonomi dan kontrol .

Kepatuhan struktural, belum sepenuhnya etis

Mewarisi Hoegeng, Bukan Mengulang VOC

Jika bangsa ini ingin memiliki penegak hukum yang berpihak pada keadilan, maka warisan yang harus dihidupkan bukanlah warisan VOC, tapi warisan Gajah Mada — dan Jenderal Hoegeng sebagai jembatan etisnya.

Bhayangkara sejati bukan yang bisa menghajar, tapi yang bisa menahan diri. Bukan yang gagah menembakkan gas air mata, tapi yang berani berkata “tidak” kepada kekuasaan yang melanggar konstitusi. Dan hukum yang sejati bukan hukum yang melayani stabilitas elite, tapi hukum yang menjadi rumah perlindungan terakhir rakyat.

Karena ketika Bhayangkara kehilangan dharma, maka negara kehilangan hati. Dan ketika negara kehilangan hati, rakyat hanya tinggal puing-puing di atas reruntuhan hukum yang dijadikan alat kekuasaan.

SELAMAT HARI BHAYANGKARA.