JAKARTASATU.COM– Pemerhati Pemilu, Titi Anggraini, melalui akun X-nya pada Selasa (1/7/2025), memberikan klarifikasi tegas mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah. Ia menepis anggapan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yang mengamanatkan pemilu setiap lima tahun sekali atau periodic elections.
Menurut Titi, ketentuan mengenai regularitas pemilu setiap lima tahun sekali harus dipahami sebagai prinsip yang berlaku untuk desain pemilu yang telah berjalan sesuai dengan model keserentakan yang konstitusional, yaitu serentak nasional dan serentak daerah, sebagaimana diputuskan oleh MK.
“Ketika keserentakan pemilu belum berjalan sesuai desain keserentakan yang konstitusional, maka kita sedang berada pada masa transisi yang harus diikuti penataan dan penyesuaian agar jadwal pemilu setiap lima tahun sekali berjalan kompatibel dengan model keserentakan pemilu yang konstitusional,” jelas Titi di akun X-nya, Selasa (1/7/2025).
Ia menekankan bahwa cara berpikirnya tidak boleh membenturkan antara Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 dengan konstitusionalitas pemilu serentak nasional dan daerah. Dalam masa transisi ini, Titi menilai bahwa penataan jadwal adalah langkah konstitusional.
Tujuannya adalah agar di masa mendatang, pemilu yang dijalankan setiap lima tahun sekali adalah pemilu dengan model keserentakan yang sesuai dengan desain konstitusi, seperti yang telah diputuskan oleh MK.
“Artinya, prinsip pemilu reguler lima tahun sekali harus diterapkan konsisten tanpa kecuali, setelah praktik pemilu serentak nasional pada 2029 dan pemilu serentak daerah pada 2031 telah dijalankan di Indonesia,” imbuhnya.
Titi juga menambahkan bahwa pola masa transisi serupa, meski tidak persis sama, pernah terjadi dalam sejarah pemilu di Indonesia. Ia mencontohkan Pemilu 1977 yang diselenggarakan enam tahun setelah Pemilu 1971, padahal jadwal normalnya adalah setiap lima tahun sekali. Selain itu, pada tahun 1999, pemilu dipercepat dari seharusnya siklus lima tahunan yang baru berlangsung pada 2002.
“Hal itu adalah bentuk penataan dan konsensus untuk keluar dari transisi demokrasi,” pungkas Titi, menegaskan bahwa penyesuaian jadwal merupakan bagian dari upaya menata sistem demokrasi. (RIS)