
JAKARTASATU.COM – Sebuah pertanyaan dilemparkan Julfi Hadi, Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), di hadapan peserta “14th ITB International Geothermal Workshop (IIGW) 2025” di Bandung, Senin, 30 Juni lalu.“Sudah tiga dekade kita bicara panas bumi. Tapi kenapa baru 12 persen yang dimanfaatkan?”
Meski suaranya terdengar tegas, tetapi nadanya tak hanya menggugat, melainkan juga mengajak. Ia tengah menyerukan satu hal yang tak bisa ditunda lagi: Indonesia butuh perubahan cara pandang untuk mempercepat pemanfaatan energi dari perut bumi.
Dalam forum ilmiah yang digelar Institut Teknologi Bandung itu, Julfi tak sekadar hadir sebagai pembicara. Tampil sebagai penyulut ide, ia mengajukan sebuah paradigma baru yang bukan saja memungkinkan panas bumi dikelola secara efisien, tapi juga mampu menjadikannya sebagai pondasi industrialisasi hijau dan kesejahteraan masyarakat lokal.
30 Tahun Bicara, 12 Persen yang Bergerak
Indonesia punya 24 gigawatt potensi panas bumi, terbesar di dunia. Tapi sampai hari ini, baru sekitar 12 persen dari total potensi itu yang dimanfaatkan. Di atas kertas, cadangan ini bisa menjadi tulang punggung transisi energi nasional, menopang swasembada energi, dan menjawab tuntutan global untuk menekan emisi karbon. Tetapi di lapangan, jalannya masih terjal.
“Yang kita butuhkan adalah cara berpikir yang baru. Teknologi baru. Cara kerja baru. Model bisnis yang baru,” kata Julfi dalam presentasinya berjudul Triggering Indonesia’s Geothermal Boom: Creating Value Through Updated Technology, Cost Optimization & New Revenue Stream Business.
Paradigma baru yang ia maksud mencakup strategi teknis dan finansial yang lebih terintegrasi. Tak hanya soal bagaimana menambang energi panas, tetapi juga bagaimana mengolahnya menjadi nilai tambah yang berlipat. Mulai dari optimalisasi teknologi seperti modular power plant dan electrical submersible pump, hingga pembukaan arus pendapatan baru lewat co-generation dan industrialisasi kawasan sekitar.
Momentum yang Tak Boleh Lewat
Gelombang geopolitik global, krisis iklim, hingga target transisi energi membuat momen ini kian krusial. Pemerintah lewat visi Asta Cita telah menegaskan ambisinya untuk mandiri secara energi. Di titik ini, panas bumi bisa menjadi tumpuan utama.
API menargetkan kapasitas terpasang Indonesia bisa melampaui Amerika Serikat yang saat ini di angka 3,8 GW, bahkan mengungguli target pemerintah sendiri yang mematok 3,6 GW pada 2029. Jangka panjangnya, API menargetkan 7,8 GW pada 2034.
Namun ambisi itu harus melewati hadangan berat. Mulai dari risiko eksplorasi yang tinggi, investasi awal (capex) yang besar, hingga keterbatasan jaringan transmisi. “Staged development bisa menurunkan risiko eksplorasi,” ujar Julfi. Ia juga menyebut bahwa pendekatan bertahap akan memudahkan pengembang dalam mengatur arus kas proyek.
