Politik Glowing Demokrasi dan Indonesia Masa Depan
Oleh Aendra Medita
Kita sambung lagi soal Politik Glowing sebelumnya pernah di tulis Ada Politik Glowing vs Politik Growing Menghantui pada Jumat, 27 Jun 2025 silakan simak.
Nah saat ini kita tahu. Di era digital yang serbavisual, demokrasi Indonesia sedang mengalami mutasi bentuk. Dulu ia lahir dari jerih payah pemikiran dan pertarungan gagasan, tapi kini ia tumbuh dalam balutan pencitraan, viralitas, dan simbol-simbol kosong.
Demokrasi kita — bila tak hati-hati — bukan lagi ajang memilih pemimpin dengan visi, tapi kompetisi siapa yang paling “glowing” di layar kaca dan media sosial. “Glowing” di sini bukan sekadar kata gaul yang menggambarkan wajah bersinar dan enak dilihat, melainkan sindiran halus terhadap demokrasi kita yang kini lebih sibuk tampil menawan daripada menggarap substansi.
Politik glowing adalah politik pencitraan, penuh cosmetic — penuh kemasan, tapi miskin isi. Demokrasi glowing adalah demokrasi yang lebih sibuk menata pencahayaan panggung daripada membersihkan sistem dari kebusukan.
Demokrasi Kosmetik dalam Sorotan Komunikasi Politik Menurut Denis McQuail, salah satu pemikir utama dalam komunikasi politik, komunikasi politik adalah segala bentuk komunikasi yang secara sengaja dipakai untuk memengaruhi proses politik. Denis McQuail adalah seorang ahli teori komunikasi Inggris, Profesor Emeritus di Universitas Amsterdam, dianggap sebagai salah satu sarjana paling berpengaruh di bidang studi komunikasi massa.
Dalam konteks Indonesia hari ini, komunikasi politik telah bergeser dari ruang debat dan ide menjadi panggung pertunjukan visual. Media sosial menjadi senjata utama, bukan untuk menyampaikan visi, tapi membentuk ilusi.
Kita tak asing dengan pemandangan ini: calon pemimpin yang lebih banyak muncul di TikTok menari atau memberi giveaway, ketimbang menjelaskan program ketahanan pangan. Atau pejabat publik yang lebih sibuk memposting kunjungan ke pasar dengan caption manis ketimbang mengurai masalah struktural harga sembako. Inilah politik glowing — di mana kerja politik direduksi menjadi konten estetis demi impresi digital. Herbert Marshall McLuhan, lebih dikenal sebagai Marshall McLuhan adalah seorang ilmuwan komunikasi dan kritikus asal Edmonton, Kanada. Ia populer karena konsepnya tentang desa global, teori medium adalah pesan dan prediksinya tentang World Wide Web, 30 tahun sebelum hal tersebut ditemukan. Bahkan McLuhan pernah berkata, “Media is the message.” Artinya, medium bukan sekadar saluran, tapi membentuk cara berpikir masyarakat. Maka ketika media didominasi oleh estetika dan pencitraan, politik pun ikut terseret ke dalam logika “siapa paling menarik secara visual.” Substansi, argumentasi, dan integritas menjadi tidak seksi lagi. Politik Panggung dan Demokrasi Semu Fenomena ini bukan tanpa bahaya.
Politik glowing adalah jalan menuju demokrasi semu, di mana yang terlihat memimpin, dan yang berpikir dikucilkan. Istilah “post-truth” yang ramai dipakai dalam ilmu komunikasi kini menjadi nyata di Indonesia. Emosi lebih penting dari data. Penampilan lebih menentukan dari nilai-nilai. Dalam dunia politik hari ini, menjadi likable lebih penting dari credible. Ini diperparah oleh algoritma media sosial yang memperkuat polarisasi dan hanya menyajikan informasi yang ingin kita lihat, bukan yang perlu kita ketahui.
Seorang Tony Blair pernah berkata, “People don’t vote for policies. They vote for people who make them feel good.” Ungkapan ini, meskipun lahir dari realitas politik Barat, sangat relevan di sini. Di negeri ini.
Kita sedang hidup di zaman ketika politik telah berubah menjadi kontes kenyamanan dan kesenangan visual. Demokrasi Kita, Masa Depan Kita Pertanyaan pentingnya: ke mana arah demokrasi kita jika terus seperti ini?
Ada dua kemungkinan sebagai berikut:
Pertama, jika fenomena politik glowing terus dibiarkan, maka demokrasi kita akan mengalami erosi makna. Pemimpin-pemimpin instan bermunculan, didorong oleh agensi pencitraan, bukan oleh rekam jejak atau kapasitas. Kebijakan publik akan berubah menjadi proyek-proyek yang bagus difoto, tapi gagal diimplementasi. Rakyat hanya dijadikan latar belakang konten, bukan subjek perubahan.
Kedua, ada harapan. Gelombang kesadaran politik mulai muncul dari generasi muda. Mereka yang lelah dengan narasi palsu, mulai menggali literasi politik. Komunitas independen, media alternatif, serta inisiatif pendidikan politik berbasis digital mulai membangun narasi tandingan. Inilah sinyal bahwa demokrasi tak sepenuhnya tenggelam oleh cahaya palsu.
Albert Camus pernah berseloroh, “Democracy is not the law of the majority but the protection of the minority.” Dalam konteks Indonesia, kita perlu menjaga agar suara minoritas yang berpikir, yang mengkritik, dan yang merumuskan alternatif kebijakan tidak dikalahkan oleh banjir suara mayoritas yang terbius pencitraan.
Kutipan-Kutipan, Peringatan Para Pemikir Kita tak kekurangan peringatan dari tokoh-tokoh besar. Gus Dur pernah mengingatkan, “Politik itu seharusnya tentang pelayanan, bukan pertunjukan.” Tetapi saat ini, politik lebih sering menjadi pertunjukan tanpa arah.
Bahkan acara-acara kenegaraan pun berubah menjadi ajang panggung gimik. Murray Edelman, ahli komunikasi yang banyak menulis mengenai bahasa dan simbol politik dalam komunikasi dalam bukunya “The Symbolic Uses of Politics,” menjelaskan bahwa simbol dalam politik bisa digunakan untuk memanipulasi persepsi publik. Politisi tahu cara memanipulasi makna melalui simbol dan ritual, sehingga publik merasa mereka peduli, padahal tidak.
Bukankah ini yang kita lihat hari ini? Apa Jalan Keluar: Demokrasi yang Berkeringat Indonesia tidak butuh demokrasi yang bersinar karena filter kamera.
Indonesia butuh demokrasi yang berkeringat. Demokrasi yang tumbuh dari kerja keras aktivisme, diskusi publik, dan komitmen terhadap etika dan moral. Demokrasi yang menjadikan rakyat bukan sebagai penonton, tapi sebagai penentu.
Nampaknya perlu ada pergeseran dari politik glow-up menuju politik grow-up. Kita harus mendorong sistem pendidikan politik yang menekankan pemahaman substansi, bukan sekadar teknik komunikasi.
Kampus harus kembali menjadi ruang debat gagasan, bukan panggung endorsement yang saat ini terjadi. Kita juga harus mendorong media untuk tidak sekadar menampilkan yang viral, tapi menyelami dan memaparkan apa yang benar-benar berdampak bagi rakyat. Media yang tidak hanya menjadi kaca rias, tapi juga menjadi kaca pembesar realitas.
Demokrasi Harus Dijaga, Bukan Dihias.
Akhirnya semoga Demokrasi adalah api yang harus dijaga, bukan cahaya yang hanya dihias. Ia bukan pesta lima tahun sekali, tapi perjuangan setiap hari. Demokrasi glowing mungkin tampak cantik di luar, tapi rapuh di dalam. Kita butuh demokrasi yang berpijar dari dalam — dari kesadaran, kejujuran, dan keberanian memihak kebenaran.
Sebagaimana yang saya sebelumnya sampaikan, pemimpin sejati bukan mereka yang paling bersinar di layar, melainkan mereka yang berpijar dalam integritas. Indonesia masa depan tidak bisa dibangun dari pencitraan semata. Ia hanya bisa ditopang oleh keringat, air mata, dan kerja politik yang sungguh-sungguh.
“Pemimpin adalah mereka yang menyalakan cahaya di tengah gelap, bukan yang hanya terlihat bercahaya di tengah lampu sorot.” Mari kita tinggalkan politik glowing. Karena ada banyak sekali yang melakukan ini saat ini. Mari kita rawat demokrasi yang bekerja untuk rakyat bukan semata memPHP rakyat dengan kepalsuan. (Aendra Medita, jurnalis dan analis di Pusat Kajian Komunikasi politik Indonesia (PKKPI) Jakarta)
Catatan Redaksi: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak selalu mencerminkan pandangan redaksi Jakartasatu.com.