Perhitungan BPKP di Kasus Impor Gula Tom Lembong, Anthony: Bongkar  Kejanggalan

JAKARTASATU.COM Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, mengkritik perhitungan kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam kasus impor gula mentah yang menjerat mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong.

Ia menilai proses tersebut janggal dan tidak masuk akal.

Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung pada 29 Oktober 2024 terkait impor gula kristal mentah (GKM) yang dilakukan pada 2015 hingga 2016.

Namun, Anthony menyebut bahwa sejak awal penetapan tersebut sudah bermasalah.

“Tidak ada bukti aliran dana atau keuntungan pribadi yang diterima Tom Lembong dalam kasus ini. Maka tidak ada unsur memperkaya diri sendiri,” kata Anthony dalam pernyataannya di media sosial pada 29 Juni 2025.

Karena tidak terbukti meraup keuntungan pribadi, tuduhan terhadap Lembong kemudian diubah menjadi menguntungkan pihak lain dan menyebabkan kerugian negara.

Namun, menurut Anthony, dasar tuduhan ini pun tidak jelas. Ia mengungkap bahwa saat Lembong ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan, laporan kerugian negara dari BPKP bahkan belum diserahkan. Dokumen itu baru diterima kejaksaan pada 20 Januari 2025.

“Artinya, saat penahanan dilakukan, belum ada bukti kerugian negara. Ini pelanggaran serius. Penahanan bisa dinilai tidak sah,” tegas Anthony.

Dalam laporan BPKP yang disusun oleh enam orang tim investigasi, kerugian negara diklaim berasal dari dua hal.

Pertama, karena harga beli gula oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebesar Rp9.000 per kilogram dianggap terlalu mahal dibanding harga pokok penjualan (HPP) Rp8.900 per kilogram.

Anthony menyebut istilah “kelebihan bayar” yang digunakan BPKP sebagai penyesatan.

Menurutnya, transaksi tersebut sah secara hukum dan berdasarkan kesepakatan bisnis. Bahkan, harga beli PPI jauh di bawah harga pembelian gula oleh BUMN lain seperti PTPN dan RNI yang mencapai lebih dari Rp13 ribu per kilogram.

“Kalau logika BPKP diterapkan secara konsisten, BUMN lain juga harus ditetapkan sebagai tersangka. Ini standar ganda,” ujarnya.

Kedua, BPKP menyebut kerugian negara terjadi karena perusahaan rafinasi dianggap kurang bayar bea masuk dan pajak impor.

Namun Anthony menyebut perhitungan ini tidak berdasar. Barang yang diimpor adalah gula kristal mentah, dan seluruh kewajiban bea masuk, PPN impor, serta PPh Pasal 22 telah dibayar sesuai aturan.

Menurutnya, BPKP menghitung seolah-olah yang diimpor adalah gula kristal putih, yang tarif pajaknya jauh lebih tinggi.

“Ini seperti menciptakan kerugian fiktif. Hukum dipelintir,” ucap Anthony.

Ia menjelaskan bahwa pajak impor seperti PPN dan PPh Pasal 22 bersifat dibayar di muka dan akan diperhitungkan dalam laporan pajak akhir tahun.

Jika ada kekurangan, itu menjadi urusan administratif dengan otoritas pajak, bukan pidana.

Anthony menilai BPKP dan Kejaksaan Agung telah melampaui kewenangan dengan menyatakan ada kekurangan bayar pajak dalam konteks pidana.

“Ini seharusnya perkara administrasi. Bukan korupsi,” ujarnya.

Ia menduga ada skenario yang direkayasa dalam proses hukum terhadap Tom Lembong.

Anthony mendesak tim investigasi BPKP untuk menjelaskan dasar perhitungan mereka secara terbuka kepada publik.

“Kalau memang ada kelebihan bayar, kenapa yang disalahkan Tom Lembong? Kalau ada kurang bayar pajak, kenapa bukan perusahaan yang diproses? Banyak kejanggalan di sini,” tutup Anthony. (Yoss)