
Jutaan orang ingin punya anak tapi tidak bisa membangun keluarga yang mereka inginkan.
JAKARTASATU.COM – Di sebuah sudut kota Depok, seorang perempuan berusia 34 tahun duduk menatap kosong ke arah jendela rumah kontrakannya. Namanya Ika. Ia bekerja sebagai tenaga lepas di sebuah lembaga riset, suaminya pegawai toko daring. Mereka menikah lima tahun lalu dengan satu cita-cita sederhana: membesarkan dua anak dalam rumah yang penuh tawa. Hari ini, mereka belum punya anak satupun. Bukan karena tidak ingin, tapi karena merasa belum mampu.
Ika hanyalah satu dari jutaan suara sunyi yang digaungkan dalam Laporan Situasi Kependudukan Dunia (SWP) 2025 yang dirilis UNFPA. Laporan itu menyingkap kenyataan menyakitkan bahwa krisis fertilitas di dunia, termasuk Indonesia, bukan soal keengganan menjadi orang tua. Tapi tentang realita hidup yang membuat banyak pasangan terpaksa menunda atau melepaskan mimpi membangun keluarga.
Data bicara lantang. Lebih dari 70 persen orang Indonesia sebenarnya ingin memiliki dua anak atau lebih. Namun hampir seperlima dari mereka memperkirakan tidak akan bisa mencapainya. Penyebab utamanya bukan perkara biologis, tapi sosial dan ekonomi. Biaya hidup yang tinggi, harga rumah yang melambung, ketidakamanan pekerjaan, bahkan kekhawatiran akan krisis iklim dan instabilitas politik, menjadi pagar tak kasat mata yang mengurung harapan.

Di Indonesia, keterbatasan finansial menjadi alasan nomor satu. Sebanyak 39 persen responden mengaku tidak mampu secara ekonomi. Yang lain terjebak dalam keterbatasan perumahan dan ketidakpastian pekerjaan. Ika dan suaminya adalah bagian dari 17 persen warga yang percaya mereka akan memiliki lebih sedikit anak daripada yang mereka inginkan.
Hassan Mohtashami, Perwakilan UNFPA Indonesia, menegaskan bahwa krisis fertilitas bukan soal keengganan, tapi ketidakmampuan. “Untuk meresponnya, kita harus mendengarkan kebutuhan orang-orang dalam membuat keputusan fertilitas mereka. Kita perlu cuti melahirkan, layanan fertilitas yang terjangkau, dan lingkungan yang mendukung,” ujarnya dalam jumpa pers di Jakarta, 3 Juli lalu.
Krisis fertilitas tidak berdiri sendiri. Ia berkelindan erat dengan ketimpangan gender yang mengakar kuat di dalam budaya kerja dan rumah tangga. Norma yang memaksa perempuan keluar dari pekerjaan ketika menjadi ibu, ketiadaan cuti berbayar bagi ayah, hingga layanan pengasuhan anak yang tidak terjangkau, semuanya berkontribusi pada minimnya pilihan hidup keluarga muda.
Lebih dari sepertiga responden global bahkan mengaku pernah mengalami kehamilan yang tidak direncanakan. Di Indonesia, meski angka ini tergolong rendah, kurang dari 20 persen, fakta bahwa lebih dari 20 persen responden pernah merasa tidak mampu memiliki anak pada saat yang mereka inginkan menunjukkan tekanan sistemik yang tak bisa dianggap remeh.
Dr. Bonivasius Prasetya Ichtiarto dari Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menegaskan bahwa negara telah menyiapkan Desain Besar Pembangunan Kependudukan untuk 20 tahun ke depan. Ia menyebutkan Quick Wins seperti Taman Asuh Sayang Anak dan penguatan layanan KB serta kesehatan ibu dan anak sebagai langkah konkret. Tapi ia juga sadar bahwa laporan SWP harus menjadi input untuk koreksi arah. “Pembangunan keluarga yang berkualitas adalah pembangunan manusia yang utuh,” ujarnya.
Meski begitu, UNFPA memperingatkan bahwa solusi yang terlalu sederhana atau memaksa justru bisa jadi bumerang. Insentif bonus bayi atau target kesuburan, tanpa memahami akar persoalan, dapat melanggar hak individu. Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang membebaskan, bukan menekan.
