Menyoal Delik Samenloop dan Concursus dalam Tuntutan Pidana Hasto Kristiyanto:
Antara Rekayasa Yuridis dan Penyalahgunaan Konstruksi Hukum & Ketika Hukum Dipelintir Menjadi Senjata Kekuasaan
Kasus pidana yang menjerat Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI Perjuangan, telah menjadi sorotan tidak hanya karena nuansa politiknya, tetapi juga karena rumitnya konstruksi delik yang digunakan oleh penyidik dan jaksa. Dalam perkara ini, diduga terjadi penerapan delik kumulatif atau gabungan berupa delik samenloop (perbarengan perbuatan pidana) dan/atau delik concursus (konkursus idealis atau realis).
Namun, apakah penggunaan gabungan delik tersebut tepat dan proporsional secara hukum? Ataukah justru mengindikasikan ketidakwajaran yang patut diduga sebagai manipulasi konstruksi hukum untuk membungkam lawan politik?
Pengertian dan Konstruksi Hukum Delik Samenloop dan Concursus
A. Samenloop (Perbarengan Perbuatan Pidana)
Merujuk pada Pasal 63–71 KUHP:
Terjadi jika satu perbuatan melanggar beberapa ketentuan hukum pidana (konkursus idealis) atau beberapa perbuatan berdiri sendiri melanggar beberapa pasal (konkursus realis).
Tujuannya adalah efisiensi proses hukum dan menghindari ne bis in idem (tidak boleh diadili dua kali untuk perkara yang sama).
B. Concursus Ideal dan Concursus Realis
Concursus idealis (Pasal 63 KUHP): satu perbuatan, dua atau lebih tindak pidana.
Concursus realis (Pasal 65 KUHP): dua atau lebih perbuatan pidana yang dilakukan dalam waktu berdekatan dan diadili bersama.
Penerapan dalam Kasus Hasto: Konstruksi yang Kabur dan Potensi Overcriminalization
Dalam kasus Hasto, beberapa dugaan tindak pidana disebut-sebut:
1. Obstruction of justice (menghalangi penyidikan Harun Masiku).
2. Penyembunyian tersangka (Pasal 221 KUHP).
3. Pemufakatan jahat (Pasal 110 KUHP?).
4. Dugaan pelanggaran UU Tindak Pidana Korupsi atau TPPU, jika dikembangkan.
5. Dugaan penggunaan teknologi komunikasi untuk menyembunyikan informasi (jika merujuk UU ITE).
Penerapan beberapa pasal yang berdiri sendiri atau tumpang tindih tersebut menunjukkan bahwa penyidik dan jaksa sedang berusaha merangkai rangkaian perbuatan menjadi satu konstruksi besar yang disebut samenloop—padahal, tidak semua perbuatan itu memiliki bukti material dan hubungan kausalitas yang cukup kuat.
Indikasi ketidakwajaran muncul ketika delik yang berbeda dikombinasikan tanpa kehati-hatian asas legalitas, proporsionalitas, dan due process of law.
Analisis Kritis: Apakah Ada Ketidakwajaran?
1. Ketidaksesuaian antara tempus, locus, dan actus reus
Penerapan samenloop menuntut adanya kesatuan waktu, tempat, dan motif perbuatan. Jika masing-masing tuduhan terhadap Hasto berdiri sendiri, memiliki actus rea dan mens rea yang tidak saling berhubungan langsung, maka penerapan pasal kumulatif tidak sah.
2. Politik Hukum yang Selektif
Delik samenloop seharusnya digunakan untuk meringankan beban terdakwa dalam proses peradilan. Tapi dalam perkara ini, justru digunakan untuk:
Memberatkan beban pembuktian pada terdakwa;
Memperluas ruang interpretasi penyidik;
Membuka peluang pemenjaraan preventif dan tekanan politik.
3. Berpotensi Menabrak Asas Lex Certa dan Lex Stricta
Hukum pidana harus jelas, ketat, dan tidak boleh digunakan elastis. Namun dalam perkara Hasto, tafsir delik dilakukan dengan:
Melebarkan makna “memberi bantuan” atau “mengetahui persembunyian” tanpa bukti kuat.
Membuat rangkaian logika yang artifisial dan sangat inferensial.
Menjerat berdasarkan asumsi posisi struktural Hasto sebagai elite partai, bukan dari pembuktian perbuatan konkret.
Tumpang Tindih dan Potensi Penyalahgunaan
Jika perbuatan diduga hanya satu (misal menyembunyikan keberadaan Harun Masiku), tetapi dijerat banyak pasal berbeda tanpa memperhatikan asas subsidiaritas (pasal alternatif), maka ada risiko:
Overlapping norma;
Pelanggaran prinsip ne bis in idem;
Delik dipakai sebagai alat tekanan psikologis dan politik.
Pandangan Hukum Progresif dan CLS:
Delik sebagai Alat Kekuasaan
Dalam pendekatan Critical Legal Studies, hukum tidak netral. Ia adalah produk relasi kuasa dan dominasi wacana, sebagaimana disampaikan oleh Duncan Kennedy dan Roberto Unger.
Kasus Hasto memperlihatkan gejala:
Penggunaan hukum pidana sebagai instrumen kontrol politik;
Delik diperlakukan bukan sebagai alat keadilan, melainkan sebagai alat perburuan musuh kekuasaan;
Concursus yang seharusnya instrumen efisiensi justru berubah menjadi strategi intimidasi dan ekskalasi politik hukum.
Hukum yang Salah Konstruksi Akan Menghasilkan Ketidakadilan
Dalam kasus Hasto Kristiyanto, konstruksi delik samenloop dan concursus tampak lebih sebagai alat penyanderaan hukum ketimbang penyelesaian masalah hukum. Penumpukan pasal bukanlah bentuk kecermatan hukum, melainkan indikasi disorientasi keadilan—apalagi bila bukti yang digunakan lebih banyak bersumber pada asumsi politik, bukan fakta hukum yang objektif.
Hukum tidak boleh digunakan sebagai alat kekuasaan untuk “menangkap siapa yang berbeda”. Karena ketika hukum kehilangan kepastian, maka yang tersisa hanyalah teater kekuasaan yang dibungkus dalam jubah yuridis.
—–
Firman Tendry Masengi, SH.
Advokat/Aktivis ProDem.