JAKARTASATU.COM– Pakar kepemiluan, Titi Anggraini, menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/2024 tentang pemilu serentak bersifat final dan mengikat. Ia membantah pandangan yang menyebut putusan tersebut bisa diabaikan dengan alasan adanya dua putusan MK sebelumnya (Nomor 14/2013 dan 55/2019) yang tidak dibatalkan.
Menurut Titi, pertimbangan hukum dalam Putusan MK 135/2024 secara eksplisit menyatakan bahwa satu-satunya tafsir keserentakan yang konstitusional dan berlaku saat ini adalah sebagaimana yang ada dalam Putusan 135/2024.
Ia menganalogikan kondisi ini dengan perubahan syarat usia calon presiden dan wakil presiden. “Kalau logika bahwa putusan terdahulu bisa tetap digunakan, maka seharusnya syarat usia capres itu adalah tetap 40 tahun, bukan menyertakan pengecualian pernah atau sedang menjabat pada posisi elected officials seperti pada Putusan 90/2023,” jelas Titi.
Titi menekankan pentingnya konsistensi dalam berbangsa dan bernegara. Ia mengingatkan bahwa publik pernah “dipaksa” menerima Putusan MK yang dihasilkan dari proses kontroversial. Oleh karena itu, ia kini mengharapkan sikap yang sama dari pembentuk undang-undang dan seluruh elite politik.
“Tempuh prosedur dan mekanisme yang juga dulu diambil oleh para pihak yang protes atas Putusan 90/2023, yaitu langkah hukum yang konstitusional,” serunya.
Lebih lanjut, Titi Anggraini menyatakan bahwa alih-alih terus memperdebatkan konstitusionalitas putusan, pembentuk undang-undang seharusnya menunjukkan teladan hukum dan politik dengan segera menindaklanjuti Putusan MK melalui revisi Undang-Undang Pemilu.
Ia menambahkan bahwa banyak persoalan dalam pemilu Indonesia yang memerlukan perbaikan. “Soal sistem, manajemen, penyelenggara, penegakan hukum, dan teknologi kepemiluan masih membutuhkan penataan dan perbaikan. Aspek format keserentakan hanya satu saja dari sekian persoalan yang perlu diatur dengan baik oleh pembentuk UU,” pungkasnya.
Titi mendesak agar pembahasan revisi UU Pemilu segera dimulai. (RIS)