In Dubio Pro Regis: Katastropik Hukum Indonesia

Oleh: Firman Tendry Masengi, S.H
Advokat/Aktivis ProDem

“Ketika hukum kehilangan keadilan, maka ia bukan lagi hukum, melainkan alat penindasan.”
— Gustav Radbruch

Indonesia tidak sedang mengalami krisis hukum biasa. Yang terjadi adalah katastropik hukum—suatu kehancuran menyeluruh terhadap prinsip, moral, dan fungsi dasar hukum dalam kehidupan bernegara. Hukum tak lagi menjadi jaring pengaman bagi rakyat, melainkan jaring laba-laba yang melindungi predator dan memerangkap yang lemah.

Kita telah menyaksikan bagaimana hukum dijalankan bukan berdasarkan nilai, tapi berdasarkan pesanan. Pengadilan berubah menjadi panggung teater kekuasaan. Polisi menjadi tangan kekuatan politik. Jaksa kehilangan imparsialitasnya. Bahkan Mahkamah Konstitusi—benteng terakhir konstitusionalisme—telah dirusak dari dalam.

Hukum Tanpa Nurani:,
Antara Bentuk dan Isinya

Indonesia mengaku sebagai negara hukum (rechtsstaat). Tetapi apa gunanya slogan jika kenyataan menunjukkan sebaliknya?

Secara formal, undang-undang disusun, pengadilan digelar, dan proses hukum berjalan. Namun, substansi keadilan telah kosong. Kita melihat bagaimana prinsip in dubio pro reo—keraguan harus menguntungkan terdakwa—diganti dengan in dubio pro regis: dalam keraguan, hukum berpihak pada penguasa.

Lihatlah bagaimana kasus yang menimpa Menteri Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Harun Masiku, bukan karena bukti yang kuat, tapi karena tekanan opini dan aroma persaingan politik. Lihat pula bagaimana kasus ijazah Presiden Jokowi diredam bukan dengan keterbukaan informasi, melainkan dengan pelaporan balik, pelintiran, dan intimidasi.

Semua ini adalah gejala bahwa hukum tidak lagi diletakkan pada takhta keadilan, melainkan di bawah kaki kekuasaan.

Filsafat Hukum yang Terinjak

Filsuf seperti Plato, Kant, hingga Satjipto Rahardjo telah lama menegaskan bahwa hukum sejati bukanlah sekadar aturan tertulis, melainkan pancaran nilai-nilai moral dan akal budi publik. Tetapi di negeri ini, filsafat hukum telah digantikan oleh akrobat hukum. Prinsip telah diganti dengan prosedur. Keadilan diganti dengan kalkulasi untung rugi politik.

Mahkamah Konstitusi, yang dulu dianggap mahkamah agungnya akal sehat, kini menjelma jadi mahkamah keluarga. Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 bukan hanya mencederai etika bernegara, tapi juga meruntuhkan kepercayaan publik pada supremasi hukum.

Dan ketika kepercayaan publik runtuh, hukum tidak lagi menjadi perekat sosial, melainkan sumber luka sosial. Itulah puncak dari bencana: katastropik hukum.

In Dubio Pro Regis

Cobalah tengok kembali kasus KPK yang dilemahkan melalui revisi UU dan drama TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) yang menjebak para penyidik independen. Atau UU Cipta Kerja yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi tapi tetap diberlakukan seolah-olah hukum hanyalah formalitas semu. Ini bukan sekadar kekeliruan prosedural. Ini adalah penghianatan sistemik terhadap prinsip rule of law.

Ketika hukum dikuasai, demokrasi pun runtuh. Hukum yang membela kekuasaan tak ubahnya seperti senjata makan tuan: membungkam rakyat, menindas oposisi, dan membungkusnya dengan legalitas semu.

Membangun Hukum dari Reruntuhan

Apakah semua sudah terlambat? Belum. Tapi waktu kita hampir habis.
Perlu revolusi kesadaran hukum. Kita harus menuntut transparansi, mendesak akuntabilitas, dan membongkar semua bentuk oligarki yudisial. Lembaga-lembaga penegak hukum harus dikembalikan pada marwahnya: sebagai pelayan keadilan, bukan pelayan kekuasaan.

Seperti kata Prof. Satjipto Rahardjo, “Hukum tidak untuk hukum, hukum adalah untuk manusia.” Maka selama manusia Indonesia masih bisa berpikir, merasa, dan melawan—selama itu pula masih ada harapan untuk hukum yang berpihak pada kebenaran.

Hukum, Luka, dan Perlawanan

Katastropik hukum bukan akhir segalanya. Ia bisa menjadi titik tolak perubahan. Tapi hanya jika kita sadar bahwa hukum tidak akan pernah netral di tangan penguasa yang tidak bermoral. Maka tugas rakyat bukan hanya menonton reruntuhan hukum, tetapi menuntut, menggugat, dan membangun ulang hukum dari luka-luka sejarah kita sendiri.

Karena hukum yang adil tidak turun dari langit. Ia lahir dari perjuangan, kesakitan, dan suara yang tak henti menggugat kebusukan.