ilustrasi ist

EDITORIAL JAKARTASATU.COM: “Bogor Disalahkan,Mengapa Kita Selalu Mencari Kambing Hitam?”

ADA pernyataan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menuding banjir yang melanda sejumlah wilayah akibat kali ciliwung yang meluap. Hal ini adalah dampak dari air kiriman dari Bogor. Pramono memang sudah memerintahkan dinas terkait untuk melakukan penanganan banjir. Hingga berita ini diturunkan ada sekitar 85 sampai dengan 90 RT yang terendam banjir.
“Memang banjir yang terjadi pada hari ini adalah banjir kiriman yang paling utama,” kata Pramono saat hadiri kegiatan di TMII, Cipayung, Jakarta Timur, Minggu 6 Juli 2025.
Jakarta Hujan saat 6 Juli 2025 deras hujan melanda Jakarta membuat puluhan RT terendam air. “Karena curah hujan yang cukup tinggi di atas, di atas milimeter sehingga dengan demikian penanganannya semua pompa sudah kita hidupkan, kemudian air sudah kita atur, pintu-pintu air,” ujarnya. Pramono memastikan, Pemprov Jakarta bersiaga dalam melakukan penangan banjir yang sampai sekarang masih merendam rumah-rumah warga. Hal ini baik, dan harus dilakukan oleh siapapun yang mimpin Jakarta.
Tapi kenapa Selalu Mencari Kambing Hitam?” Setiap kali Jakarta dilanda banjir, satu nama yang nyaris otomatis muncul sebagai terdakwa publik: Bogor. Hujan deras di Puncak, luapan Sungai Ciliwung, dan deru air bah yang datang dari selatan—semua membuat publik, media, bahkan pemerintah tergoda menunjuk jari ke arah wilayah hulu.
Seolah-olah persoalan banjir Jakarta hanyalah soal “air kiriman” dari kota tetangga. Tapi benarkah sesederhana itu? Kita harus jujur mengatakan: menyalahkan Bogor adalah kemalasan berpikir. Ini bukan sekadar persoalan air dari hulu, tapi cerminan dari kegagalan sistemik di tubuh ibu kota sendiri.
Jakarta adalah kota megapolitan, katanya menuju global. Namun Jakarta –yang dibangun di atas fondasi rapuh: dataran rendah, sebagian di bawah permukaan laut, dengan drainase tua, sungai yang dangkal, dan tata kota yang carut-marut. Wilayah hilir ini seperti ember berlubang yang dipaksa menampung air tanpa pernah diperbaiki. Bahkan ketika hujan hanya di Jakarta sekalipun, banjir tetap terjadi.
Ironisnya, pembangunan terus digencarkan tanpa henti. Gedung pencakar langit tumbuh, tetapi kolam retensi dan ruang terbuka hijau menyusut. Kanal dan sungai dijejali limbah dan plastik. Warga membangun di bantaran sungai, dan pemerintah seolah membiarkan.
Semua tahu ini problem serius, tapi siapa yang sungguh-sungguh menyelesaikan?
Sementara itu, Bogor pun bukan tanpa luka. Hutan dan daerah resapan air di kawasan Puncak terus menyempit, dikorbankan demi vila-vila dan hotel. Daya serap tanah terganggu, membuat air hujan meluncur deras tanpa sempat disimpan bumi. Tetapi apakah vila-vila itu dibangun semata oleh orang Bogor? Ataukah oleh orang Jakarta yang mencari liburan tanpa tanggung jawab sosial?
Inilah persoalan nyata: banjir Jakarta adalah cermin kegagalan kolektif. Bukan hanya salah Bogor, bukan hanya salah Jakarta, tapi salah model pembangunan yang tamak dan rabun jauh.
Sebuah kegagalan berpikir lintas wilayah, lintas generasi, lintas kepemimpinan. Sudah waktunya kita berhenti mencari kambing hitam. Baiknya jangan lagi menyalahkan Bogor hanya karena air mengalir dari atas ke bawah—itu hukum alam. Yang perlu diubah adalah cara kita memperlakukan alam. Kita butuh sinergi, bukan tudingan. Kita butuh kebijakan lintas kota yang berpihak pada keberlanjutan, bukan sekadar proyek mercusuar. Jakarta butuh revolusi tata ruang. Bogor butuh perlindungan wilayah hijau. Dan Indonesia butuh pemimpin yang tidak hanya lihai dalam pidato, tapi juga teguh dalam eksekusi kebijakan.
Karena jika tidak, setiap musim hujan, yang tenggelam bukan hanya Jakarta—tapi juga akal sehat kita bersama. Lewat editorial ini dirasa cocok, kami sampaikan ya pak Gubernur…!! (jaksat/ed-aen)