
JAKARTASATU.COM– Penegakan hukum di Indonesia saat ini dinilai sangat memprihatinkan. Hal ini disampaikan oleh Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dalam dialog bersama jurnalis senior Kompas, Budiman Tanuredjo lewat akun YouTube-nya Budiman Tanuredjo, Sabtu.
Menurut Isnur, berdasarkan survei World Justice Project dan Bappenas, indeks penegakan hukum Indonesia hanya berkisar antara 3 hingga 4 dari skala 10. “Ini menunjukkan kondisi yang sangat buruk dan tidak mengalami perbaikan selama bertahun-tahun,” ujarnya.
Isnur menyoroti sejumlah masalah utama, seperti proses penangkapan yang semena-mena, kurangnya penghormatan terhadap konstitusi, dan rendahnya kepatuhan terhadap hukum. “Padahal, konstitusi sudah menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan,” tambahnya.
Ia menegaskan bahwa banyak undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 dan kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun ironisnya, sejumlah pejabat justru menentang putusan MK dan menganggapnya bertentangan dengan konstitusi, padahal MK adalah lembaga konstitusi yang berwenang mengawal UUD.
Isnur juga mengkritik pernyataan pemerintah dan DPR yang menyatakan bahwa mahasiswa dan ibu rumah tangga tidak memiliki legal standing untuk menguji Undang-Undang TNI di MK. Menurutnya, pernyataan tersebut sangat memalukan dan menunjukkan ketidaktahuan terhadap UU MK. “Sejak 2003, MK telah memfasilitasi semua warga negara untuk menguji undang-undang,” katanya.
Mengenai RUU TNI yang memperpanjang masa dinas perwira tinggi dan memperluas kewenangan TNI di bidang sipil, Isnur mengungkapkan kekhawatirannya. “RUU ini justru menambah kewenangan di luar mandat konstitusional TNI. Kini TNI terlibat di banyak bidang sipil seperti pertanian dan BUMN, yang sangat mengkhawatirkan,” ujarnya.
Isnur menyoroti kasus food estate di Merauke yang menggunakan pendekatan militer dengan penggusuran lahan masyarakat menggunakan ancaman senjata. Ia menyebut praktik ini mengulang pola Orde Baru di mana korporasi didukung aparat untuk menguasai lahan masyarakat.
Ia juga mengkritik sikap DPR yang mengeluhkan seringnya UU yang mereka buat dibatalkan MK. “Ini menunjukkan DPR tidak menghormati konstitusi dan prinsip pemisahan kekuasaan. MK sebagai pengawal konstitusi justru dianggap mengganggu,” kata Isnur.
Isnur menuding Indonesia dipimpin oleh kartel partai politik, di mana proses legislasi dikuasai segelintir ketua partai yang berunding layaknya raja-raja, sementara anggota DPR yang kritis sering dipinggirkan atau di-recall.
Terkait MoU Kejaksaan dengan operator telekomunikasi soal penyadapan, Isnur menilai hal itu sangat berbahaya karena melanggar privasi warga tanpa mekanisme pengawasan yang jelas. Ia menegaskan pemerintah seharusnya membuat UU Penyadapan sesuai putusan MK 2010, bukan membuat aturan sepihak.
Meski menghadapi tekanan, masyarakat sipil menunjukkan konsolidasi dan solidaritas baru dalam tiga tahun terakhir, terutama melalui gerakan seperti Nurani Bangsa yang menolak otoritarianisme.
Untuk visi Indonesia 2045, Isnur berharap 75 persen masyarakat memiliki kesadaran kritis tentang hak dan kewajiban bernegara. “Pendidikan harus menjadi prioritas untuk membangun logika dan kemampuan analisis. Hanya dengan masyarakat terdidik kita bisa mencapai Indonesia emas,” pungkasnya. (RIS)