Kajian Politik Merah Putih: RAJA JAWA ABAL-ABAL MEMBAWA PETAKA
JAKARTASATU.COM— Koordinator Kajian Politik Merah Putih mengatakan “Konsep Raja Jawa” itu nggak gampang asal njeplak sebagai Raja Jawa. Ada yang dinamakan “Halad Keraton”, ada peran dan fungsi khusus, yang harus dijalankan seorang Raja, tidak asal disebut sebagai Raja Jawa.
“Halad” dalam konteks ini lebih berkaitan dengan batas, pemisah, atau dinding pembatas atau “tawing halad” merujuk pada dinding yang memisahkan area publik (tampak depan) dengan area privat (ruang dalam).
“Istilah “Halad” atau “Halat” lebih relevan adalah “Raja” itu sendiri, yang dalam tradisi Jawa, tidak hanya seorang penguasa duniawi, tetapi juga memiliki dimensi spiritual dan kosmik. Raja dianggap sebagai perantara antara dunia manusia dan dunia dewa, serta penjaga keseimbangan alam semesta,” kata Sutoyo dalam keterangannya kepada media, Jakarta, Senin (7/7/2025).
“Sebagian konsep Raja Jawa tertuang dalam serat wulangreh yang meliputi banyak hal terutama tentang konsep Gung Binatara Nyakrawati Tuhu Telaling Kawula Gusti,” imbuhnya.
Seorang raja harus memahami juga tentang “Tanuhita, Samahita, Sarahita, Dharmahita dan bersikap Sama Beda Dana Denda” dalam menjalankan lakunya sebagai seorang raja.
“Konsep di atas ini memiliki empat dimensi makna. Dua makna yang disebut pertama berarti raja besar seperti dewa (gung binanthara), yang memiliki kekuatan (bau dhendha), sebagai penguasa dunia (nyakrawati),” ungkapnya.
“Sedangkan dua dimensi lainnya berisi penjelasan bagaimana seorang raja harus melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya. Ia harus ber budi, yang artinya budi baiknya seolah-olah mengalir karena penuhnya (luber), bawa le(k)sana berarti sanggup memegang teguh kata-katanya, dan ambek adil paramarta yang berarti mampu bersikap adil serta murah hati,” tutur Sutoyo.
Tuhu tetalinging”, merupakan gabungan dari dua kata “tuhu” dan “tetalining”. “Tuhu” artinya benar, sungguh-sungguh, atau setia. Sedangkan, “tetalining” bisa berarti ikatan, hubungan, atau simpul. Jadi, secara keseluruhan, “tuhu tetalining” bisa diartikan “ikatan yang sungguh-sungguh” atau “hubungan yang setia”.
“Kawula kalawan Gusti” adalah frasa dalam bahasa Jawa yang secara harfiah berarti “hamba dengan Tuhan”. Secara umum, frasa ini mengacu pada konsep hubungan antara manusia sebagai hamba (kawula) dengan Tuhan sebagai penguasa atau yang memiliki (Gusti),” jelas Sutoyo.
Kemudian, dalam konteks spiritualitas Jawa, frasa ini sering digunakan untuk menggambarkan hubungan yang sangat dekat, menyatu, bahkan melebur antara hamba dengan Tuhannya, yang dikenal dengan istilah “Manunggaling Kawula Gusti”.
Lebih lanjut dia sebutkan “Tanuhita” mengacu pada sifat atau watak seseorang, seperti yang dijelaskan dalam serat Pambekaning Para Nata Binathara, bisa diartikan sebagai “gemar berolah kependetaan” atau “gemar kepada keutamaan”.
Kemudian Sutoyo menjelaskan maksud dari Samahita, Sarahita, Dharmahita, Sama beda dana denda.
“Samahita” memiliki beberapa arti tergantung konteksnya. Dalam bahasa Sanskerta, samahita berarti tegar, kuat, atau terkonsentrasi.
“Sarahita” khususnya dalam konteks budaya dan sejarah, memiliki arti “senang dalam berlatih keprajuritan” atau “gemar dalam peperangan”. Bisa merujuk pada orang yang suka berperang dan mahir dalam strategi perang, serta mengajarkan ilmu peperangan kepada orang lain.
“Dharmahita”, dalam perspektif budaya Jawa, mengacu pada ketaatan atau kepatuhan pada dharma, yang berarti kewajiban, kebenaran, atau ajaran agama, demi mencapai kesejahteraan atau kebaikan. Bisa diartikan sebagai “kesejahteraan yang dicapai melalui dharma” atau “kesejahteraan yang bersumber dari dharma
“Sama beda dana denda” berarti perbedaan antara “denda” dan “dana” yang berkaitan dengan sanksi atau hukuman. Siapapun apapun kedudukan dan pangkatnya seorang yang melakukan kesalahan harus menerima sangsi hukuman.
“Denda adalah sejumlah uang yang harus dibayarkan sebagai sanksi atas pelanggaran, sedangkan dana bisa merujuk pada uang yang digunakan untuk berbagai keperluan, termasuk pembayaran denda,” jelas Sutoyo.
“Uraian singkat dan sederhana diatas sekedar mengingatkan kembali masih terjadinya dampak buruk berkepanjangan, karena ulah Ketua Umum Golkar periode 2024-2029 Bahlil Lahadalia menyinggung adanya ‘Raja Jawa’ dalam penutupan Munas ke XI Golkar di JCC, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024 ) yang terkesan melecehkan raja Jawa,” bebernya.
Menurut Sutoyo, Itu terjadi atau muncul dari seorang yang bodoh, dungu dan tolol serta menjilat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat itu. Sedangkan yang dimaksud Raja Jawa tentunya Jokowi dan dia pun hadir dalam acara tersebut. Sebutan Raja Jawa abal – abal membawa dan menimbulkan petaka . (Yoss)