JAKARTASATU– Kita telah memasuki tahun baru 2018. Lalu, bagaimana refleksi bangsa ini di bidang ekonomi? Nyatanya ekonomi yang Dibangga-banggakan oleh Jokowi tak mampu bebaskan rakyat dari jurang kemiskinan. Anggota @DPR_RI partai Gerindra @HeriGunawan88 menegaskan bahwa ada beberapa poin yang sudah semestinya akan menjadi bahan renungan oleh @jokowi.
Pada bulan Maret 2017, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 27,77 juta orang (10,64 persen). Angka itu bertambah sebesar 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,76 juta orang (10,70 persen). Akar masalahnya ada pada sistem ekonomi yang dipakai pemerintah selama ini. @jokowi
Sistem itu tidak hanya gagal mengentaskan kemiskinan tapi juga memiskinkan. Pemerintah sering bersembunyi di balik statistik yang acuannya sering jadi polemik, sering salah tafsir, dan bahkan menyesatkan. Faktanya, kemiskinan tetap tumbuh subur. Per Maret 2017, menurut BPS, jumlah orang miskin bertambah sebesar 6900 jiwa. Anggota @DPR_RI partai Gerindra @HeriGunawan88 menegaskan bahwa angka ketimpangan yang masih bertengger di kisaran 0,39. Itu adalah angka yang masih berstatus wapada.
Itu berarti bahwa sistem ekonomi yang dijalankan selama ini masih belum mampu menciptakan pemerataan secara total. Postur APBN yang terus defisit dari tahun ke tahun masih tak bisa diterjemahkan menjadi kesejahteraan bagi rakyat banyak, kemakmuran untuk semua. Faktanya, hanya ada 1 persen orang yang menguasai 39 persen pendapatan nasional. Lebih dari itu, tak lebih dari 2 persen orang telah menguasai lebih dari 70 persen tanah di republik ini.
Ekonomi kita tidak dinikmati oleh rakyat banyak. Angka di kuartal III yang mencapai 5,06 persen tak menggenjot daya beli sehingga terjadi penurunan konsumsi rumah tangga dari 4,95 persen menjadi 4,93 persen. Dan itu terjadi signifikan pada kelas masyarakat menengah ke bawah yang proporsinya sebesar 80 persen. Ini terungkap dalam Survei Nielsen yang disebut-sebut sebagai pertumbuhan paling rendah dalam 5 tahun terakhir. Survei Nielson tersebut mengungkap bahwa distorsi daya beli tidak terjadi pada masyarakat kelas atas yang jumlah tak lebih dari 20 persen.
Ini menjadi bukti bahwa sistem ekonomi yang dijalankan @jokowi sekarang belum memenuhi amanat konstitusi untuk “memajukan kesejahteraan umum.” Ambisi pemerintah membangun infrastruktur masih tercium di dalamnya jejak mengorbankan sektor lain. Bahkan, sebagian dibiayai lewat skema utang yang ujungnya berdampak pada defisit anggaran. @jokowi seharusnya sadar bahwa defisit cenderung meningkat. Penyebabnya adalah realisasi belanja rata-rata tumbuh di kisaran 5 persen, sementara realisasi pendapatan Negara hanya tumbuh di kisaran 3 persen.
Pemerintah tetap harus prudent dalam mengelola belanja dan utang. Apalagi kelihatannya pemerintah akan menggantungkan sepenuhnya pembiayaan pembangunan dari sektor keuangan. Defisit yang makin naik tersebut yang mengakibatkan jumlah utang naik dan akan menyulitkan terwujudnya keseimbangan primer yang positif. Pada postur 2018 @HeriGunawan88 menyeebutkan bahwa pendapatan Negara sekitar 14 persen terhadap PDB, sedangkan belanja bisa mencapai 16 persen terhadap PDB. Gap tersebut yang akan selali menjadi masalah serius.
Utang masih terus menjadi beban. @jokowi yang sepertinya terlena oleh rasio utang, makin kalap menumpuk utang. Kalau dilihat dari trennya, rasio utang cenderung mengalami kenaikan. Tahun 2014 sebesar 24,7 persen, tahun 2015 naik tajam ke 27,4 persen, lalu tahun 2016 menjadi 27,9 persen, tahun 2017 ada di angka 28,2 persen. Tahun 2018 diproyeksi bisa menyentuh angka 29 persen terhadap PDB. Sementara itu, di sisi lain, beban jatuh tempo pembayaran utang makin besar. Pada 2018 nanti sebesar Rp. 390 triliun, dan ketika di tahun 2019 akan ada dikisaran Rp.420 triliun. Sehingga, total keseluruhan pada pembayaran jatuh tempo mencapai Rp. 810 triliun. Pemerintah seharusnya tegas menetapkan kriteria atau prasyarat suatu program atau proyek yang boleh dan tidak boleh dibiayai utang. Di samping untuk menjamin produktivitas, juga harus mampu mengembalikan beban bunga dan cicilan utang. Pemerintah harus mampu kembali ke amanat konstitusi ekonomi nasional sebagaimana yang tertuang pada dalam Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi roh kenapa republik ini didirikan. RI
*Dewan Pimpinan Pusat Gerindra