JAKARTASATU– “Ketahuilah bahwa roda Islam itu sesungguhnya selalu berputar. Maka, berputarlah bersama Islam ke manapun dia berputar.” (Al-Hadits). Itu termasuk hadits pertama yang mempengaruhi cara saya memandang hidup. Islam tidak saya pandang sebagai identitas pribadi tetapi identitas kolektif. Itu yang membuat saya sulit terjebak ashobiyah (fanatik kelompok) dan furu’iyyah (terjebak persoalan cabang).

Saya coba memaksakan pandangan bahwa Islam hanya identitas pribadi. Tidak bisa karena faktanya, meski kita bertanggungjawab di depan Tuhan itu masing-masing tetapi pribadi Islam tersebut tumbuh dalam tradisi yg sama sejak dalam kandungan sampai masuk kuburan.

Dengan Islam kita menjalani kehidupan; lahir dan menjalani masa kecil dengan aqiqah dan khitan, remaja dan menikah secara Islam, hingga melaksanakan seluruh rukun iman dan Islam yang memenuhi seluruh aspek kehidupan.

Sering saya katakan, kita syahadat, sholat, zakat, puasa, haji, dll tanpa regulasi negara berjalan tanpa masalah. Seolah Islam tidak memerlukan negara. Itu identitas yang melekat. Tanpa negara semua harus terlaksana. Tetapi Nabi memberi contoh pembentukan madinah.

Maka, Indonesia adalah madinah kita. Tempat kita saling menerima perbedaan latar suku, agama, ras, antar golongan. Di sini kita menunjukkan cinta seperti cinta nabi kepada kota yang di dalamnya ada keadilan dan kemajuan bersama. Inilah wajah Islam dalam negara. 

Maka, kalau kita memandang Indonesia dengan kacamata Islam demikiankah seharusnya. Kita tidak Perlu diajarkan paham kebangsaan sebab ia lahir dalam kesadaran bersama dan semua sudah berjalan berabad-abad lamanya. Mereka yang hendak merusakkan yang mempersoalkannya.

Negara ini memang karya bersama tetapi dengan dominasi cara pandang Islam di dalamnya, mengikuti konposisi pendirinya, karena itu ia kekal sampai sekarang. Kalau ada yang ingin mencabut jiwa Islam itu maka tercabutlah nyawa bangsa dan negara.

Menurut saya, itulah kesalahan awal pemimpin tertinggi kita sekarang, bermain api dengan Islam. Sejak awal elite baru yang berkuasa di Jakarta dan dalam negara membongkar kembali hal-hal yang sudah selesai sambil menuduh umat Islam dengan segala macam kesalahan.

Sekarang setelah kasus pilgub DKI selesai, tuduhan telah masuk menjadi kebijakan. Saya kaget, dengan tekun pemerintah meracik narasi yang intinya mengatakan, “ada yang salah dengan Islam di negeri ini, Harus dikoreksi, agama Import, dan lain-lain turunannya”. RI

*Fahri Hamzah, Wakil Ketua DPR RI