JAKARTASATU– Semakin dekat waktu pendaftaran pasangan calon presiden membuat atmosfir politik nasional kian menghangat. Utak-atik pasangan capres mendominasi wacana publik dalam beberapa pekan ini. Menariknya, justru ynag paling heboh adalah soal siapa cawapeesnya Joko Widodo. Pasalnya, mantan Walikota Solo yang akrab disapa Jokowi ini belum mengumumkan nama calon wakil presidennya. Publik semakin tak sabar menunggu siapa nama calon wakil presiden yang akan mendampingi calon petahana itu.

Publik boleh tak sabar, tetapi tentu saja ada sejumlah aspek yang menjadi pertimbangan dalam menentukan siapa cawapresnya Jokowi. Sebelum membuat keputusan yang tepat tentang pasangan calon perlu memperhatikan aspek elektabilitas, akseptabilitas, kapabilitas, integritas, loyalitas dan rekam jejak (track record).

Tentang syarat tingkat keterpilihan (elektabilitas) tentu meniadi pertimbangan. Misalnya, seberapa besar kontribusi masing-masing tokoh dalam menyumbang kenaikan suara. Menurut saya, dalam preferensi pilihan cawapres pendamping Jokowi boleh dikatakan belum ada yang terlalu menonjol dalam menaikkan suara selain figur Jusuf Kalla (JK) dan Prabowo Subianto. Nama-nama selain JK dan Prabowo belum ada yang paling menonjol dan signifikan menambah suara. Boleh dibilang imbang. Namun, dalam semua simulasi pasangan capres jika dilihat berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, posisi elektabilitas Jokowi dipasangkan dengan dengan beberapa seperti Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, Moeldoko, Mahfud MD, Zaenul Majdi (TGB), dan lain-lain masih tertinggi dibanding paaangan calon presiden yang lain. Karenanya untuk aspek elektabilitas tidak terlalu mengkuatirkan bagi Jokowi asalkan figur cawapresnya tidak terlalu parah track recordya. Selain itu, figur yang menjadi calon wakil presiden Jokowi harus bisa diterima, tidak hanya bisa diterima oleh masyarakat tapi harus bisa juga diterima oleh partai koalisi. Memilih figur yang bisa diterima semua pihak ini yang tidak mudah bagi Jokowi karena masing-masing partai memiliki kepentingan mengelola berbagai kepentingan partai agar tetap solid inilah tantangan bagi Jokowi. Tantangan penting lainnya bagi Jokowi adalah memilih figur yang memiliki loyalitas bisa bekerjasama dengan baik. Aspek ini penting agar tidak terjadi konflik, sehingga pemerintahan bisa berjalan baik. Kalau soal kapabilitas dan integritas dari nama-nama yang muncul di publik pasti ada plus minusnya. 

Dalam beberapa hari ini mencuat sejumlah nama yang disebut-sebut menjadi kandidat terkuat yang akan mendampingi Jokowi. Ada sejumlah nama sepeti Mahfud MD dari kalangan non partai yang memiliki merk sebagai intelektual muslim, Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) NTB dua periode yang juga dikenal sebagai tokoh islam, dan Moeldoko yang berlatar belakang militer, mantan panglima TNI yang dinilai loyal dan low profile. Bahkan muncul juga sejumlah ulama seperti KH. Ma’ruf Amin, KH. Said Aqil Siraj dan KH. Nasaruddin Umar.  Selain itu, dari kalangan partai politik yang santer disebut-sebut adalah Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar. 

Nama Puan Maharani juga disebut meski tak terlalu santer. Selain aspek yang saya sebut di atas ada aspek lain yang menjadi pertimbangan, yaitu realitas isu yang berkembang saat ini seperti menguatnya isu politik identitas yang mengandung unsur SARA dan isu militer vs sipil karena faktanya, pesaing Jokowi saat ini ada beberapa nama yang berlatar belakang militer. Sebut saja Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo dan Agus Harimurti Yidhoyono yang kerap disapa AHY. Dan publik juga mengetahui, di belakang tiga nama itu bertaburan mantan perwira militer. Realitas itu tidak terbantahkan, karenanya, jika kita perhatikan sejumlah nama-nama cawapres Jokowi yang menguat saat ini mencerminkan kedua isu tersebut.

Jika dibaca menguatnya figur-figur seperti TGB, Mahfud MD, Muhaimin Iskandar dan sejumlah ulama dalam beberapa hari ini menunjukkan ada kecenderungan “Kekuatan Islam” menjadi kata kunci (keyword) dalam konfigurasi posisi cawapres Jokowi. Hal itu didasarkan pada realitas politik kekinian, dimana politik identitas menjadi instrumen dalam kontestasi elektoral dan diyakini memiliki pengaruh di tingkatan pemilih.  

Namun, dalam memaknai kata kunci “Kekuatan Islam” tersebut bisa menggunakan dua perspektif. Pertama, kekuatan Islam yang merujuk pada figur berlabel Islam yang memiliki basis pendukung Islam. 

Kedua, bisa merujuk pada tokoh yang beragama islam tapi tidak berlabel sebagai tokoh Islam, tetapi dekat dan didukung ulama dan umat Islam. Artinya, yang menjadi kata kunci sejatinya adalah dukungan umat Islam mayoritas.

Sekarang tinggal tergantung Jokowi dan partai politik yang bakal mengusungnya untuk memilih cawapres dengan pertimbangan dan analisa yang tepat. Semua memiliki kelebihan dan kekurangan. Tinggal membuat skor atau rumus yaitu siapa tokoh yang memiliki skor terbaik dari semua kriteria di atas.

*Karyono Wibowo, Direktur Ekskutif Indonesian Public Institute