Sesungguhnya pemenang dari pemilihan umum 2019 lalu adalah warga Dusun Dasan Gedang Lauk, Lombok Timur. Buktinya, seorang calon legislatif dari Partai Keadilan Sejahtera yang berniat ‘membeli’ suara warga dengan harga IDR 25,000 harus menerima pil pahit; warga Dasan Gedang Lauk justru marah dan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwenang. Alhasil, sang caleg pun diamankan oleh petugas KPPS setempat dan kasusnya akan diusut lebih lanjut oleh Panitia Pengawas Pemilu.
Di tengah riuh rendah sengketa politik antar koalisi, silat lidah di layar kaca dan perkelahian dunia maya, kemarahan warga Dasan Gedang Lauk ini sesungguhnya kembali menyingkap kotoran di bawah karpet yang selalu disimpan rapat–rapat namun sudah jadi rahasia umum: politik praktis Indonesia seolah tak pernah bisa keluar dari jerat perilaku koruptif yang kerap merendahkan nalar warga dan mencederai demokrasi.
Korupsi dalam politik tak pelak mengundang seribu tanya bagi warga yang menaruh harap pada kontestasi elektoral yang demokratik; mungkinkah hasil dari pemilu ini – siapapun pemenang pilpres dan pileg – dapat benar-benar merajut kembali tali silaturahmi yang rusak akibat penggunaan politik identitas dalam rangka mendongkrak elektabilitas? Dapatkah hasil pemilu ini bisa menjawab persoalan dan tantangan bangsa ke depan untuk mengungkap serta mengakhiri dominasi politik oligarkis yang telah sekian lama merugikan kepentingan publik?
Semangat warga Dasan Gedang Lauk seharusnya menginspirasi kita; bahwa masih ada komunitas warga yang tidak rela menyaksikan pembusukan politik terjadi di depan mata, sehingga mereka lalu berinisiatif dan mengambil tindakan untuk mengoreksinya. Hal ini tentunya kita perlukan, mengingat kondisi politik hari ini yang belum juga menemukan titik terang. Mengapa kami berpikir demikian?
Pemantauan hakasasi.id (via cloud-based research dan pemantauan media daring) menemukan bahwa praktik koruptif dalam politik – entah siapapun calonnya, di segala pemilihan – dilakukan secara terbuka dan seringkali luput dari perhatian serta penindakan tegas pihak yang berwenang. Praktik semacam ini bisa kita temukan sama–sama jejaknya; mulai dari masa pra & pasca kampanye, hingga masa pemilihan. Hakasasi.id membagi temuannya ke dalam 5 kategori pelanggaran besar. Tentunya angka dan data yang kami temukan ini bisa jadi lebih kecil dari apa yang betul-betul terjadi di lapangan, mengingat tak semua kejadian mampu direkam secara lengkap.
Secara keseluruhan, peristiwa pelanggaran pemilu bercorak pengerahan kekuasaan berlebih (excessive use of power) memang lekat pada kelompok koalisi pendukung petahana (Jokowi – Ma’ruf Amin). Bersama dengan PDIP, Golkar, Nasdem, PPP, PKB, Hanura (dan empat partai lain yang tidak duduk di parlemen seperti PKPI, PBB, Perindo dan PSI); Joko Widodo beserta partai pendukung adalah koalisi mayoritas yang menguasai seluruh perangkat aparatur sipil negara. Hakasasi.id mencatat ada empat pelanggaran pemilu yang secara gamblang ditunjukkan oleh koalisi besar ini.
1. Pengerahan Aparatur Sipil Negara (ASN) Serta Kepolisian (2 Kasus)
Cerita Kapolsek Pasirwangi, Kabupaten Garut, Sulman Azis (yang kemudian ditarik oleh yang bersangkutan) menyisakan banyak pertanyaan bagi publik. Menurut keterangan yang disampaikan dalam konferensi pers di Kantor Hukum Lokataru pada 31 Maret silam, ia dan para Kapolsek di Kabupaten Garut mendapat arahan dari Kapolres Kabupaten Garut untuk menggalang dukungan bagi Jokowi – Ma’ruf dan melakukan pendataan dukungan masyarakat terhadap pasangan calon 01 dan 02. Tak hanya itu, para Kapolsek pun diancam akan dimutasikan apabila paslon 01 kalah di wilayahnya. Sulman sendiri mengaku tak tahu apakah perintah tersebut diberikan langsung dari pucuk pimpinan Polri atau Polda Jawa Barat.
Keterangan Sulman Azis ini terbit tak lama setelah screenshot percakapan grup WhatsApp bernama “Pilpres 2019” viral di grup WhatsApp warga Makassar. Screenshot tersebut berisikan instruksi bagi polisi untuk menggalang dukungan warga agar memilih pasangan Jokowi – Ma’ruf. Para Kapolsek diminta untuk mencari tokoh masyarakat yang berpengaruh di tiap desa untuk mengampanyekan Jokowi – Ma’ruf seraya melibatkan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) yang bertugas di tingkat desa atau kelurahan. Dalam mengampanyekan pasangan calon 01, para anggota grup diminta untuk tak langsung mengajak mencoblos, melainkan dengan terlebih dahulu berdiskusi soal keberhasilan pemerintah.
Berdasarkan nama yang tertera sebagai anggota grup dan mereka yang ikut berkomentar di percakapan tersebut, muncul nama-nama sejumlah pejabat kepolisian di Nusa Tenggara Barat seperti Kapolres Bima Kota AKBP Edwin Ardiansyah, Wakapolres Bima Kota Kompol Yusuf Tauziri, dan Kapolsek Donggo Iptu Muhammad Ananda.
Kabar mengenai pengerahan aparat penegak hukum untuk tujuan pemenangan elektoral ini patut meresahkan kita. Apabila penegak hukum yang dalam prinsipnya harus netral dalam Pemilu sudah dengan begitu leluasa digunakan sebagai instrumen politik, maka tatanan demokrasi elektoral kita dapat dikatakan sedang dalam bahaya. Jika hal ini tak kunjung diselidiki sampai ke akarnya, bukan tak mungkin hal serupa akan terjadi di penyelenggaraan Pilkada dan Pemilu yang akan datang.
2. Pejabat Publik Mengarahkan Untuk Memilih Calon Tertentu (2 Kasus)
Profesionalitas serta integritas menteri dalam kabinet sudah seharusnya kita harapkan dari mulai ia ditunjuk hingga diberhentikan, terlepas dari adanya event politik tahunan yang berlangsung di akhir masa jabatan. Namun apa yang telah dilakukan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Menkominfo Rudiantara tidak mencerminkan bagaimana seharusnya pejabat publik menjaga profesionalitasnya.
Dengan terbuka Tjahjo Kumolo berkata kepada media bahwa ASN (aparatur sipil negara) di daerah tidak boleh netral, dan mensosialisasikan program Jokowi adalah tugas mereka sebagai konsekuensi dari hubungan yang menurut Tjahjo harus tegak lurus dengan pemerintah pusat.
Begitu pula Menkominfo Rudiantara yang bertanya kepada stafnya mengenai siapa yang membayar upah ketika salah satu stafnya terbuka mendukung salah satu pasangan calon presiden lain. Padahal keduanya masih dibebani banyak tugas publik penting ketimbang sibuk mengarahkan para ASN dan staf kementerian untuk berpolitik. Polemik UU ITE, urusan administrasi kependudukan serta segudang masalah publik lainnya toh tak pernah jadi prioritas.
3. Pengerahan BUMN Untuk Pemenangan Pemilu (2 Kasus)
Dalam surat edaran Kementerian BUMN bernomor S-153/S.MBU/04/2019 yang ditujukan kepada Direksi dan Dewan Komisaris/Dewan Pengawas BUMN; para karyawan BUMN/peserta kegiatan acara Puncak Peringatan Hari Ulang Tahun Kementerian BUMN dan BUMN diminta mengaktivasi aplikasi Link Aja sebagai alat pembayaran (fintech). Dari surat ini diperoleh informasi mengenai rencana pengerahan 150,000 orang karyawan BUMN yang akan menghadiri acara ulang tahun Kementerian BUMN, yang berpapasan dengan tanggal pelaksanaan Konser Putih – Bersatu; kampanye terakhir pasangan Jokowi – Ma’ruf Amin di Gelora Bung Karno sebelum memasuki masa tenang (13 April 2019).
Surat ini diperkuat dengan keterangan Ketua Steering Committee Federasi Serikat Pekerja Sinergi BUMN, Ahmad Yunus dari Perum Jasa Tirta II yang mengungkap bahwa pegawai BUMN ditarik untuk mendukung pasangan Jokowi – Ma’ruf. Tersebar juga surat PT. Jasa Marga yang memohon peserta dari kantor – kantor pusat dan cabang untuk menghadiri acara tersebut.
Hingga kini belum ada keterangan lebih lanjut dari hasil korespondensi antara Bawaslu dengan Kementerian BUMN terkait dengan dugaan pengerahan petugas BUMN untuk perayaan ulang tahun sekaligus kampanye Jokowi tersebut.
4. Pengerahan Kepala Daerah, Kepala Desa Serta Perangkat Desa (21 Kasus)
Ini kasus yang paling banyak hakasasi.id temukan dalam penelusuran kami. Banyak kepala daerah yang menyatakan secara terbuka keberpihakannya terhadap calon presiden tertentu. Sekedar catatan, Bawaslu hingga April 2019 ini telah memutus 17 perkara pelanggaran pemilu terkait dengan kasus ASN dan kepala daerah ini.
Contoh pelanggaran azas netralitas Kepala Daerah ini antara lain dapat kita temui pada deklarasi 30-an kepala daerah di Jateng dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo yang menyatakan dukungan pada paslon Jokowi-MA di Hotel Alila Solo. Meski tidak melanggar UU Pemilu, dengan menyebutkan jabatan pada saat deklarasi maka kepala daerah tidak menunjukkan netralitas sebagaimana diatur UU Pemda.
Selain itu ada juga video Bupati Kuningan Acep Purnama yang menyatakan kepala desa yang tidak dukung Jokowi sebagai laknat pada acara relawan Akar Rumput Kuningan 15 Februari 2019. Di Makassar, beredar video 15 Camat yang menyatakan dukungan pada Jokowi, dipimpin oleh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.
Kasus-kasus ini kerap berakhir tanpa ada tindakan berarti. Kasus Bupati Kuningan misalnya. Gakumdu Kuningan memutuskan kasus ini tidak melanggar tindak pidana Pemilu karena kegiatan dianggap tidak mempromosikan visi-misi, tidak dihadiri langsung oleh pelapor, dan bukti bukan berupa rekaman langsung oleh pelapor. Bawaslu Sulsel juga melimpahkan kasus 15 Camat di Makassar ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) karena video yang viral tersebut dianggap tak memenuhi syarat ikut berkampanye. Atau seperti kasus video viral Kepala Desa Cidokom, Bogor yang menunjukkan ajakan memilih paslon Jokowi-Ma’ruf Amin, namun tidak ada saksi yang mau datang.
Kesejahteraan warga juga dapat terancam akibat sikap tidak netral dari kepala daerah dan perangkatnya, seperti dalam kasus dugaan kecurangan Bupati Tapanuli Tengah Bakhtiar Ahmad Sibarani (Partai NasDem). Ia diduga mengintimidasi masyarakat dengan ancaman pencabutan Program Keluarga Harapan (PKH) jika tidak memilih calon legislatif dari partainya.
5. Bertarung dalam Pemilu, Bersatu Dalam Anggaran dan Serangan Fajar
Klaim kampanye bersih, tolak politik uang dan segala macam pakta integritas lainnya hanyalah omong kosong belaka. Akibat dari jumlah kasus yang tak ketulungan banyaknya, debat publik terkait politik uang ini malahan mulai bergeser jadi siapa yang paling banyak memberikan uang. Terlepas dari kubu manapun, peserta pemilu dalam penelusuran kami hampir semua menggunakan serangan fajar sebagai strategi untuk mendapatkan suara.
Tidak banyak yang dilakukan oleh Koalisi untuk menahan anggota-anggotanya di daerah agar politik praktis kita tidak terpuruk lebih dalam lagi. Contohnya adalah kasus Bowo Sidik Pangarso, anggota Komisi VI DPR RI dari partai Golkar yang tertangkap tangan menerima suap guna membeli suara di daerah pemilihannya di Jawa Tengah II. Uang sebesar 8 miliar yang terbagi ke dalam 400,000 amplop tersebut jadi bukti, melengkapi apa yang telah dilakukan oleh Dyah Ayu Nurani, Caleg DPR-RI wilayah Riau dari partai Gerindra yang kedapatan membawa uang sebesar 506 juta dan diduga oleh Bawaslu akan digunakan untuk membeli suara.
Meski dalam hal kuasa relasi antara kedua koalisi ini relatif timpang, tapi tidak dalam semangat pendanaan. Keduanya tidak banyak bicara ketika Presiden Jokowi mengesahkan peraturan peningkatan dana bantuan parpol lewat Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2018 yang menetapkan daftar bantuan parpol sebesar IDR. 1000/suara sah yang diperolehnya pada pileg 2014. Dana tersebut menurut ketentuan akan digunakan untuk pendidikan politik dan dana kesekretariatan partai. Menurut proyeksi kasar dari laporan media, dana ini mencapai sekitar 118,55 miliar rupiah per tahun; semenjak PP ini disahkan pada Januari 2018.
Pertanyaan besarnya: bagaimana anggaran tersebut dapat digunakan untuk memberikan pendidikan politik bagi warga apabila masa kampanye pemilihan umum justru diisi oleh aksi-aksi pembelian suara (vote-buying), serta pengerahan aparatur sipil negara dari tingkat pusat hingga daerah? Bagaimana kemudian pertanggungjawaban dana ini menyangkut relasinya dengan perluasan partisipasi warga dalam pemilu 2019? Tentunya pertanyaan-pertanyaan ini wajib untuk terus dilontarkan, mengingat dana bantuan pemilu ini diambil langsung dari APBN yang sebagian diantaranya diperoleh dari pajak warga negara.
6. Pelanggaran Hak-Hak Anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS)
Berbarengan dengan proses rekapitulasi di KPU, hari-hari ini kita juga terus mendengar kelanjutan tragedi yang tak mungkin lagi ditutup-tutupi sebagai sebuah kecelakaan biasa. Terhitung hingga Sabtu kemarin, KPU mencatat ada 440 orang petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal (554 orang jika termasuk petugas Panwaslu dan Kepolisian), 3788 orang terbaring sakit, dan sekurangnya 7 petugas mengalami keguguran usai bertugas di Tempat Pemungutan Suara pemilu serentak 2019.
Menurut KPU, usai Pileg 2014 ada setidaknya 144 anggota KPPS yang meninggal dunia. Jumlahnya amat jauh di bawah angka korban Pemilu tahun ini. Meski demikian, perlu diingat bahwa pelaksanaan Pemilu 2014 berlangsung tidak serentak. Pileg dilakukan pada 9 April 2014, sedangkan Pilpres menyusul pada 9 Juli. Pemisahan ini tentu berujung pada beban kerja yang berbeda pula.
Celakanya, melihat perbandingan aturan dan ketentuan di tahun 2014 dan 2019, tidak ditemukan perubahan berarti; baik dari jumlah petugas, tugas dan wewenang, jaminan hak, jaminan kesehatan hingga aturan khusus yang dapat melindungi petugas KPPS dari resiko yang mungkin muncul dalam pelaksanaan Pemilu serentak. Petunjuk pelaksanaan tugas di Buku Panduan KPPS tahun ini tidak jauh berbeda dengan yang ada di Buku Panduan 2014. Demikian pula PKPU No. 3/2018 (kemudian direvisi PKPU No. 36/2018) tidak memiliki perbedaan mencolok dengan PKPU No. 3/2013 yang menjadi dasar pelaksanaan tugas KPPS Pemilu 2014.
Disini kita tentu bertanya-tanya. KPU harusnya mengetahui betul bahwa beban tugas KPPS di Pemilu serentak akan berkali lipat lebih berat dari Pemilu 2014. Lantas mengapa tidak ada perubahan signifikan pada peraturan yang menjadi landasan kerja KPPS di lapangan? Mengapa hal krusial ini luput dibenahi sehingga pelaksanaan pesta demokrasi yang seharusnya semarak malah menghasilkan “martir-martir”? Dan yang paling krusial; apakah para peserta pemilu, yang juga anggota parlemen tidak menghitung resiko dan dampak yang akan muncul dalam pemilu serentak ini?
Bentuk Segera Tim Investigasi Khusus Pemilu 2019!
Rangkaian temuan hakasasi.id bersama dengan Lokataru Foundation ini menggenapi banyak persoalan yang diduga jadi penyebab banyaknya pelanggaran yang muncul dalam pemilu 2019; biaya politik yang terlalu mahal dan yang paling penting, ketiadaan indikator peningkatan kualitas partisipasi warga dalam pemilihan umum kali ini. Alih-alih peningkatan partisipasi riil warga dalam politik, yang muncul kemudian justru tumpukan kasus demi kasus pelanggaran pemilu yang mencederai semangat demokrasi dan mengurangi secara bertahap partisipasi warga dalam ritus kehidupan bernegara.
Temuan Bawaslu per 23 April 2019 bahkan jauh lebih memprihatinkan. Lembaga ini telah merekam sekitar 7,132 temuan/laporan pelanggaran pemilu untuk Pemilu 2019, namun baru sekitar 100 kasus yang berhasil naik sampai tingkat pengadilan – artinya hanya ada kurang dari 2% kasus pelanggaran pemilu yang berhasil disidangkan dan terbukti memenuhi unsur–unsur pidana pemilu. Angka ini menunjukkan bahwa angka pelanggaran pemilu mungkin sudah jauh melebihi kemampuan Bawaslu untuk melakukan penindakan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilu kali ini.
Berbekal temuan ini, dan semangat warga Dusun Dasan Gedang Lombok Timur yang menginspirasi kami; hakasasi.id dan Lokataru Foundation berniat menyudahi ketakutan kolektif masyarakat sipil akan tuduhan keberpihakan dengan menunjukkan secara gamblang bahwa ada yang salah dari gelaran Pemilu 2019 kali ini. Siapapun yang menang dari gelaran pemilu kali ini; ia sesungguhnya memenangkan sebuah kontes yang jauh dari semangat untuk merawat demokrasi, menjunjung tinggi prinsip integritas, transparansi, dan keberpihakan terhadap hak asasi manusia.
Maka dari itu, perlu ditekankan bahwa laporan ini tidak kami buat dalam rangka memojokkan salah satu pasangan calon. Sebab pelanggaran azas-azas Pemilu jelas dilakukan oleh kedua kubu yang berkontestasi dalam Pemilu kali ini. Bagi kami, prinsip-prinsip demokrasi amat krusial untuk terus dipertahankan melampaui bilik suara, melampaui Pemilu, melampaui siapapun yang kelak terpilih nanti. Atas dasar keyakinan inilah kami menyusun laporan ini.
Tak ayal tumpukan persoalan yang muncul sehabis pemilu ini berpotensi tinggi akan terus kembali berulang – mengingat kita masih punya proses pilkada di daerah – jika publik tidak mengetahui persis apa yang benar-benar terjadi dalam ritual lima tahunan yang bernama pemilu ini. Oleh karena itu, kami mendesak Presiden Joko Widodo sebelum mengakhiri masa kabinetnya, untuk untuk segera membentuk tim investigasi pemilu bersama KPU dan Bawaslu guna melakukan evaluasi secara menyeluruh atas penyelenggaraan pemilu 2019 yang sarat akan praktik kecurangan dan kelalaian yang telah mengakibatkan banyak petugas KPPS harus meregang nyawa.
Menurut hemat kami, segala sistem, metode, dan cara alternatif untuk mencegah kecurangan pemilu bisa saja dilontarkan oleh siapapun; namun apabila praktik politik kita tidak juga mengakui bahwa pemilu kali ini adalah sebuah kegagalan besar dalam demokrasi, kita tidak akan pernah beranjak kemana-mana.
Sumber: lokataru.id Rilis Pers Hakasasi.id & Lokataru Foundation